Rabu, Mei 14, 2008

MULTIKULTURAL

MULTIKULTURAL

DALAM ISLAM

Prof. Dr. H. Abdullah Ali, M.A.

Bahan diskusi dalam acara Semiloka BEM STAIN se- Indonesia

Cirebon, 25-27 April 2008

KONSEP MULTIKULTURAL

Ragam Budaya

Kemajemukan

Kebhinekaan

Pluralisme

REALITAS ISLAM

Banyak Madzhab

Banyak Golongan

Banyak Faham

Banyak Aliran

Banyak Sekte

ISLAM ITU UNIVERSAL

AYAT-AYATNYA GLOBAL

RAHMAT BAGI SEMESTA ALAM

BERLAKU UNTUK SEMUA UMMAT MANUSIA

AKTUAL DI SEGALA TEMPAT DAN ZAMAN

الاسلام صا لح بالناس لكل مكان وزما ن

Ayat-Ayat Al- Qur’an Universal

شهر رمضان الذى أنزل فيه القرآن هدى للناس

وما أرسلنك الا رحمة للعا لمين

يا أ يها النا س ا عبدو ربكم الذى خلقكم والذين من قبلكم لعلكم تتقون

ياأيها التا س انا خلقنكم من ذكر و أنثى وجعلنكم شعوبا وقبا ئل

لتعا رفوا ان أكرمكم عند ألله أتقا كم

Ayat-Ayat Al- Qur’an Global

أقم الصلاة لدلوك الشمس الى غسق الليل و قرآن الفجر

يا أيها الذ ين أمنوا اذا قمتم الى الصلاة فأغسلوا وجوهكم

يا أيها الذ ين أمنواخذوا زينتكم عند كل مسجد

يا أيها الذ ين أمنواأدخلوا فى السلم كآفة

ان الصلاة للمؤمنين كتابا موقوتا

MELAHIRKAN MULTI TAFSIR

MENIMBULKAN VARIASI INTERPRETASI

MENDORONG LAHIRNYA MULTIKULTURAL

MEMBERI PELUANG BANYAK MADZHAB - ALIRAN

BANYAK GOLONGAN – FIRQAH – SEKTE DAN FAHAM

MEMUNCULKAN PLURALISME DAN KEMAJEMUKAN

SESUAI LATAR BELAKANG SOSIAL BUDAYA & KEYAKINAN

Prof. Dr. H. Abdullah Ali, M.A.

Bahan diskusi dalam acara Semiloka BEM STAIN se- Indonesia

Cirebon, 25-27 April 2008

ISLAM

YANG LUAS DAN LUWES

MEMBERIKAN KEBEBASAN UNTUK MEMILIH

فمن شآء فليؤمن ومن شآء فليكفر

MEMBERIKAN KABAR GEMBIRA BUKAN PENDERITAAN

بشروا ولا تنفروا

MEMBERIKAN KEMUDAHAN BUKAN KESUSAHAN

يسروا ولا تعسروا

AJAKAN UNTUK SALING MEMAHAMI

لتعا رفوا

AJAKAN UNTUK MENCARI TITIK TEMU

تعا لو الى كلمة سواء بيننا وبينكم

BERSABAR MENERIMA PERBEDAAN FAHAM

لنا أ عما لنا ولكم أ عما لكم

BERSABAR MENERIMA PERBEDAAN AGAMA

DAN KEYAKINAN

لكم د ينكم ولى د ين

MASYARAKAT ISLAM MADANI

UMMAT ISLAM BERPERADABAN

YANG MEMILIKI KUALITAS IMAN DAN ILMU

MEMILIKI SOLIDARITAS SOSIAL - UKHUWWAH

DAN INTEGRITAS MORAL

Prof. Dr. H. Abdullah Ali, M.A.

Bahan diskusi dalam acara Semiloka BEM STAIN se- Indonesia

Cirebon, 25-27 April 2008

BIO DATA

NAMA : PROF. DR. H. ABDULLAH ALI, M.A.

TTL : CIREBON, 27 – 11 1949

ALAMAT : KOMPLEK PDK BLOK C-1

JL. PERJUANGAN

SUNYARAGI CIREBON

NIP : 150 197 750

JABATAN : DOSEN STAIN CIREBON

GURU BESAR ILMU SOSIAL

SOSIOLOGI ANTROPOLOGI

GOL. IV D/PEMBINA UTAMA MADYA

PENDIDIKAN :

S-1 IAIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

FAKULTAS USHULUDDIN

JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA

S-2 UNIVERSITAS INDONESIA JAKARTA

FAKULTAS PASCASARJANA

JURUSAN ANTROPOLOGI

S-3 UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG

FAKULTAS PASCASARJANA

JURUSAN ILMU SOSIAL

BIDANG SOSIOLOGI ANTROPOLOGI

FENOMENA PERGAULAN BEBAS

REMAJA KOTA CIREBON

Tinjauan Sosio-Antropologis

Prof. Dr. H. Abdullah Ali, M.A.

(Guru Besar Ilmu Sosial)

????? ?????

Belum Mengerti Fungsi Sex

Sebagai Alat Reproduksi

Dorongan Sex Tak Terkendali

Berpacaran Pada Usia Remaja

Keinginan Kawin Usia Dini

Kawin Sebelum Nikah

Hamil Di Luar Nikah

?????

DEGRADASI MORAL

MASA DEPAN SURAM

POSISI REMAJA

PELANJUT GENERASI

SDM BERKUALITAS

MUTIARA KELUARGA

CINDRA MATA IBU BAPA

HARAPAN ORANG TUA

UJIAN PALING BERAT

TANTANGAN MASYARAKAT

RENTAN TERHADAP PEKAT

TANTANGAN

MASA DEPAN REMAJA

PERSAINGAN BEBAS

PERGAULAN BEBAS

PERDAGANGAN BEBAS

BEBAS NORMA – BEBAS NILAI – BEBAS SEX

KEBODOHAN – KEMISKINAN

LINTAS BUDAYA – LINTAS MORAL

PEKAT – KRIMINALITAS – DEMORALISASI

KONFLIK INTERNAL DAN NUANSA POLITIK

PORNOGRAFI – ANARKISME – PREMANISME

INFORMASI DAN KOMUNIKASI

- Televisi - Telepon

- Video - Telegram

- Surat Kabar MEDIA MASSA - SLJJ

- Internet - Email

- Radio - Satelit

- Faxcimile - Handphone

ANTISIPASI – FILTERISASI – PARTISIPASI

REMAJA GAUL

BERKUALITAS

IMTAQ – IPTEK

OTAK JERMAN

HATI MEKKAH

CINA KOREA JEPANG

SOSIAL BUDAYA INDONESIA

AKIBAT PERGAULAN BEBAS REMAJA

MENOLAK TANGGUNG JAWAB ?????

?????

BANGKITNYA REFORMASI

H. Abdullah Ali

Fakta Sejarah

Gejala-gejala bangkitnya reformasi di Indonesia, sesungguhnya sudah muncul dalam wacana komponen bangsa, terutama sejak bergulirnya pemikiran-pemikiran inovatif dari para cendekiawan muslim yang memproklamasikan berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim se- Indonesia (ICMI) pada tahun 1990 di kota Malang Jawa Timur. Keberanian para mahasiswa teknologi Universitas Brawijaya yang meminta Prof BJ. Habibie menjadi nara sumber dalam seminar nasional cendekiawan muslim, telah menimbulkan kekhawatiran petinggi ABRI saat itu yang kebetulan dikomandani oleh Jendral LB Moerdani (alm). Petinggi ABRI yang satu ini memang telah lama menjadi “momok” bagi para pemikir Islam, para pejuang dan pembaharu kaum muslimin di Indonesia, sejak peristiwa Tanjung Priok 1984 yang menggemparkan dan menimbulkan kemarahan ummat Islam. Tampilnya BJ. Habibie seorang sipil yang sedang mendapat kepercayaan dari Pak Harto waktu itu, untuk dipromosikan sebagai calon pemimpin masa depan di negeri ini, melalui ceramah-ceramah ilmiah di hadapan para petinggi ABRI khususnya, membuat “panas” hati sang jendral. BJ. Habibie dianggap lebih berbahaya jika tampil sebagai pemimpin bangsa di Indonesia, karena kapasitasnya sebagai ilmuwan, cendekiawan, teknokrat yang santri dan taat pada ajaran Islam. BJ. Habibie memang bukan seorang kyai, juga bukan ulama dalam persepsi ummat, tetapi komitmennya terhadap nilai-nilai ajaran Islam, dianggap berbahaya oleh sang jendral, lebih berbahaya daripada kyai pondok. Karena itu, tidak heran jika seminar nasional cendekiawan muslim yang berujung pada terbentuknya ICMI, tidak memperoleh izin dari jendral yang menhankam pada saat itu, walaupun dihadiri pak Harto dan mendapat izin dari Ka Polri melalui Ka Polda Jawa Timur.

Wacana reformasi selanjutnya terus dikumandangkan oleh para cendekiawan muslim melalui acara silaturrahmi kerja nasional (silaknas) yang diselenggarakan setiap tahun pada bulan Desember. Gagasan-gagasan baru berkaitan dengan pembangunan dan pencerahan pemikiran menyangkut demokratisasi dan estapeta kepemimpinan masa depan, menjadi topik khusus yang menarik perhatian. Keberanian Amin Rais mencalonkan diri menjadi Presiden di tengah-tengah dominasi kekuasaan ABRI yang masih kental dan dicurigai sebagai sistem militerisasi di Indonesia, sempat mengemuka sebagai bahan diskusi hangat dalam acara silaknas ICMI di kawasan kampus IPB Bogor, sekitar tahun 1996 menjelang pemilu 1997. Wacana inovatif yang murni berdasarkan pemikiran rasional dan demokratis, menggelinding ke permukaan, bukan saja di kalangan cendekiawan, tetapi juga sudah mulai menjalar di kalangan mahasiswa. Beberapa kampus perguruan tinggi, menunjukkan aktifitas intensif berunjuk rasa dan berdemonstrasi mengkerucut kearah kepemimpinan nasional sebagai sasaran, yang didominasi oleh ABRI. Puncaknya, adalah kemarahan mahasiswa radikal yang menggoyang pemerintahan orde baru dengan modus reformasi diikuti oleh kemarahan massa rakyat yang tidak terkendali, melahirkan peristiwa Mei 1998 yang terkesan brutal dan anarkis, menimbulkan banyak korban akibat tindakan terpaksa dari pihak militer. Inilah barangkali klimaks tuntutan reformasi, yang berhasil menumbangkan kepemimpinan pak Harto sebagai simbol orde baru, tepatnya tanggal 20 Mei 1998 ditandai dengan penyerahan kekuasaan kepada Prof. BJ. Habibie selaku Wakil Presiden. Secara juridis sebetulnya BJ. Habibie mempunyai hak untuk melanjutkan kepemimpinan nasional hingga pemilu 2002, sesuai undang-undang. Keberhasilannya menurunkan nilai dollar Amerika pada masa krisis dari hampir Rp 20.000,-/ US Dollar menjadi Rp 6000,- / US dollar adalah prestasi luar biasa dari seorang Presiden Habibie. Hanya karena fitnah Jendral Moerdani (alm) didukung partai politik tertentu yang tidak senang kepada Islam, memanfaatkan momentum reformasi, menjatuhkan nama baik Habibie dianggap sebagai “penjual Timor Timur” yang akhirnya lepas dari kekuasaan Republik Indonesia. Padahal “the facto” Habibie mengajukan dua opsih, merdeka atau berintegrasi ke Indonesia, sebagai jawaban terhadap kecaman masyarakat bangsa-bangsa kepada Indonesia selama itu.

Issue Reformasi

Pertama, Demokratisasi, menjadi salah satu issue sentral yang mengemuka dalam mendukung terjadinya reformasi. Dalam pemerintahan orde baru demokratisasi diterapkan secara terpimpin seperti orde lama, hanya berbeda nama dengan sebutan “Demokrasi Pancasila”. Kepemimpinan dan kebijakan dilakukan secara sentralistik, dengan pendekatan politik keamanan demi stabilitas sosial ekonomi. Model eknomi konglomerasi menjadi sangat populer, di mana kendali ekonomi lebih banyak dikuasai oleh para konglomerat. Model demokrasi Pancasila, telah memberikan kesempatan berlanjutnya kepemimpinan nasional pada pak Harto selama lebih dari 30 tahun. Memang beliau terpilih berulang-ulang melalui pemilu yang selalu dimenangkan oleh satu partai besar, dan pemilihan dilakukan oleh anggota MPR yang mayoritas adalah pendukungnya. Inilah barangkali model demokrasi semu yang menyebabkan timbulnya kejenuhan dan berakibat pada jatuhnya kepemimpinan pak Harto dengan orde barunya. Andaikata setelah 25 tahun memimpin, sesuai dengan tahapan yang jelas, pelita demi pelita, pak Harto segera menyerahkan kepemimpinan nasionalnya kepada rakyat melalui pemilu yang lazim dilakukan di negara demokrasi, barangkali nama beliau akan tetap harum di hati bangsa Indonesia. Karena selama kepemimpinannya, diakui atau tidak, telah berhasil mengangkat derajat bangsa Indonesia kepermukaan bangsa-bangsa di dunia. Tahapan pembangunan yang dilakukan secara sistematis per-pelita menunjukkan adanya konsep pembangunan yang jelas, sehingga hasilnya bisa dinikmati oleh masyarakat luas sampai ke pelosok desa. Sebab bagi rakyat di desa, yang penting bukan soal politiknya, tetapi soal aman dan bisa makan.

Kedua, Supermasi Hukum, menjadi issue reformasi yang dianggap penting, berkenaan dengan upaya menegakkan keadilan seadil-adilnya. Walaupun keadilan yang diprakarsai manusia dalam kenyataannya tidak akan pernah bisa dicapai. Tegaknya supermasi hukum yang menjadi issue sentral reformasi, dimaksudkan untuk mengadili para koruptor kelas kakap yang dianggap telah merugikan negara. Hutang negara yang cukup besar untuk biaya pembangunan selama kepmimpinan pak Harto dianggap membebani rakyat. Karena itu perlu diusut siapa pemimpin yang sudah memanfaatkan “kesempatan dalam kesempitan”. Para koruptor telah menelan uang rakyat, sementara rakyat yang menanggung bebannya. Hukum pada saat itu dianggap “banci” dan “mandul”, karena tidak mampu menyentuh orang-orang terpandang di negeri ini, seperti para konglomerat dan kalangan pejabat.

Ketiga, “Sipilisasi” sama sekali tidak ada hubungannya dengan konsep “civil society” yang mengandung makna “masyarakat berperadaban”. Sipilisasi yang dimaksud dalam issue reformasi adalah lawan dari militerisasi. Kepemimpinan pak Harto pada masa orde baru didominasi oleh pihak militer. Hampir semua lini kepemimpinan dari mulai tingkat pusat, Gubernur kepala daerah tingkat propinsi, dan bupati/walikota kepala daerah tingkat kota/kabupaten, mayoritas diduduki oleh militer. Para petinggi ABRI yang kebetulan sudah purnawirawan, ditunjuk langsung dari pusat tiba-tiba bisa menjadi Gubernur, Bupati atau Walikota, sebagai realisasi konsep dwi fungsi ABRI. Sepertinya pemerintahan menjadi hak mutlak kalangan militer, dan seakan kalangan sipil tidak dipercaya menjadi top leader dalam kepemimpinan bangsa ini.

Keempat “Desentralisasi” menjadi catatan penting sebagai issue reformasi, untuk mengurangi kekuasaan pusat pemerintahan. Model pemerataan pembangunan yang pernah diterapkan pada masa lalu, dianggap tidak tepat untuk diterapkan pada masa reformasi. Kebhinekaan masyarakat daerah dengan latar belakang sosial budaya yang bervariasi, potensi sumber daya yang mungkin berbeda, tidak mungkin diperlakukan sama. Karena itu, otonomi daerah menjadi tuntutan reformasi yang harus diwujudkan dalam berbagai aspek kehidupan pemerintahan. Kepemimpinan daerah harus diserahkan kepada putera daerah, agar bisa memahami karakter masyarakatnya, keuangan dan belanja daerah harus diserahkan kepada daerah masing-masing sesuai dengan potensi sumber daya yang dimiliki. Para wakil rakyat dipilih oleh rakyat setempat dengan menampilkan calon wakil rakyat putera daerah, dst.

Dampak Reformasi

Konflik masyarakat dan pemerintah yang melahirkan reformasi, memang ada positif dan negatifnya. Secara sosiologis konflik bisa terjadi karena adanya pertentangan kepentingan, menyangkut kehidupan sosial ekonomi dan politik. Terjadinya anarkisme di Indonesia, kemungkinan dipicu oleh cara berfikir Marxis yang cenderung materialisme, di mana masyarakat yang tertindas merasa berkepentingan untuk melakukan perlawanan terhadap penguasa. Kerusuhan yang terjadi pada bulan Mei sembilan tahun yang lalu, merupakan wujud dari pemanfaatan peluang masyarakat untuk melawan dan bertindak anarkis, membakar dan menjarah, sebagai bentuk pelampiasan kekecewaan terhadap pemerintah. Dalam kondisi massa tidak terkendali, sulit dideteksi siapa yang salah dan siapa yang harus bertanggung jawab. Pihak keamanan pada saat itu jelas tidak berdaya menghadapi amukan massa. Kemungkinan itulah yang membuat sampai hari ini pemerintah tidak mampu mengungkapkan orang-orang yang harus ditangkap dan diadili berkenaan dengan jatuhnya korban puluhan anggota masyarakat, dan kerugian yang diderita akibat penjarahan beberapa swalayan di Jakarta serta tewasnya mahasiswa, kasus Trisakti maupun kasus Semanggi.

Anarkisme dan tindakan brutal masyarakat yang emosional dan tidak terkendali, menjadi ciri karakter komponen bangsa saat ini di era reformasi. Dampak negatif dari reformasi yang tidak proporsional, juga telah menimbulkan banyak korban rakyat kecil, yang mungkin asalnya tidak tahu menahu. Kelompok masyarakat tertentu bisa saling menyerbu kelompok lain, anggota partai politik satu kubu bisa saling berlawanan dan berebut kantor sekretariat seperti yang terjadi di Jawa Timur; kerusuhan demi kerusuhan silih berganti, terakhir ini kita menyaksikan perebutan sebuah perguruan tinggi di Medan Sumatera Utara akibat perselisihan pengurus yayasan, bentrok antar mahasiswa dari satu perguruan tinggi berbeda fakultas di Ujung Pandang, termasuk bentrok mahasiswa STAIN Ambon yang tentu menimbulkan banyak korban. Kita tidak tahu sampai kapan anarkisme dan kebrutalan masyarakat bisa terhenti, aparat dibikin tidak berdaya, peran ABRI menjadi mandul karena tidak dilibatkan dalam sistem keamanan masyarakat. Mungkin inilah model norma reformasi yang belum tentu benar, ketika menempatkan posisi ABRI hanya untuk menghadapi perang, sehingga banyak anggota ABRI yang terkesan menganggur, padahal mereka punya senjata. Kewenangannya dibatasi hanya untuk menghadapi musuh dari luar, padahal mungkin tindakan anarkis dan brutal masyarakat bisa menjadi musuh negara dari dalam. Pendekatan keamanan yang pernah diterapkan pada masa lalu, rasanya masih dianggap perlu, jika negeri ini ingin stabil, agar pemerintah bisa tenang membangun.

Konflik komponen bangsa yang melahirkan reformasi, secara sosiologis juga diakui ada nilai positifnya. Karena memang tidak ada masyarakat yang hidup tanpa konflik. Konflik tidak selalu negatif, bahkan mungkin ada konflik yang positif. Terjadinya reformasi telah membawa perubahan sistem politik di Indonesia. Demokratisasi yang selama ini tersumbat oleh kepemimpinan militer, menjadi cair, bahkan meluber kemana-mana melampaui batas-batas dinding demokrasi itu sendiri. Seperti melubernya lumpur panas Lapindo di Sidoarjo Jawa Timur yang tidak terkendali dan tak kunjung berhenti. Multi partai yang sekarang ini banyak bermunculan dengan mudah, unjuk rasa dan demonstrasi yang tak pernah sepi, bahkan seringkali tidak terkendali sehingga menimbulkan anarkisme, menjadi indikasi terbukanya sistem demokrasi di negeri ini. Rakyat sipil berkesempatan tampil sebagai pemimpin, menjadi kepala negara, kepala daerah atau wakil rakyat sesuai hasil pemilihan langsung yang digelar sebagai wujud demokrasi. Seleksi kepemimpinan tidak lagi ketat, karena banyak bergantung pada pilihan rakyat. Pendidikan, kemampuan manajerial dan kesehatan jasmani - rohani tidak lagi menjadi ukuran sebagai kriteria kepemimpinan. Siapa saja, bisa tampil : preman, pemabok, penjudi, anak jalanan dan tukang parkir juga bisa jadi wakil rakyat. Bisa dibayangkan bagaimana buruknya tampilan wakil rakyat di Indonesia seperti yang terjadi di DPR Pusat sampai ke daerah beberapa waktu lalu menjadi tontonan gratis yang menggelikan di mata dunia internasional. Korupsi dan manipulasi tidak lagi didominasi oleh kalangan eksekutif, bahkan menjadi lahan subur bagi kalangan legislatif, sehingga tidak heran jika awal reformasi ditandai dengan kasus pengadilan bagi para wakil rakyat.

Cirebon, Medio Mei 2007

RESUME

BUKU TRADISI KILIWONAN GUNUNG JATI

Potensi dan Masalahnya Sebagai Model Wisata Religi

Oleh

Prof. Dr. H. Abdullah Ali, M.A.

Guru Besar Ilmu Sosial / Sosiologi Antropologi

Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri

STAIN CIREBON

Disajikan dalam acara Peluncuran Buku

Kamis, 08 Maret 2007

Convention Hall – Grage Mall Cirebon

PENDAHULUAN

Latar Belakang

- Tradisi Klwiwonan Gunung Jati adalah kebiasaan perilaku masyarakat dan kelompok ummat Islam khususnya, mengunjungi makam Sunan Gunung Jati, dengan maksud ziarah pada setiap malam Jum’at Kliwon.

- Tradisi dengan niat ziarah, hakikatnya merupakan salah satu bagian dari Sunnah Rasul, dengan maksud mengingatkan orang-orang yang hidup, agar menyadari dirinya bahwa suatu saat nanti yang bersangkutan juga akan meninggal dunia.

- Pada prakteknya, banyak perilaku penziarah yang kemudian meminta-minta berkah kepada arwah leluhur, terutama arwah Sinuhun Gunung Jati, salah seorang Wali yang dianggap symbol “orang suci”, karena itu dapat menjadi “wasilah, jembatan penghubung” untuk menyalurkan do’a para penziarah.

- Secara ideologis, inilah aspek yang kemudian menimbulkan konflik ideologi, pertentangan dan perbedaan faham di kalangan kelompok ummat Islam, antara yang pro dan kontra. Satu pihak menganggap tradisi kliwonan dengan niat ziarah adalah ibadah mengharap berkah; sementara pihak lain menganggap bahwa tradisi kliwonan merupakan perilaku bid’ah, yang bertentangan dengan aqidah Islamiyah.

Permasalahan

- Tradisi kliwonan adalah model perilaku ummat Islam yang menimbulkan konflik ideologi antara pemahaman yang pro dan kontra, seperti juga pernah terjadi ketegangan antara kelompok Wahabi yang menentang tarekat-tarekat Sufi di Saudi Arabia, begitu pula ketegangan antara Santri, Abangan dan Priyayi dalam perspektif penelitian antropologi Clifford Gertz berjudul “Religion of Java” (1960) ; yang terus berlanjut dalam wujud pertentangan faham antara kelompok Sunni dan Syi’ah, kelompok tradisionalis dan modernis.

- Meskipun perilaku tradisional seperti kliwonan menimbulkan

konflik ideologi antara pro dan kontra, tetapi tradisi ini bisa terus bertahan di tengah arus modernisasi dan teknologi. Secara sosio-antropologis, masalah ini menarik untuk dikaji melalui penelitian ilmiah. Karena selama ini ada asumsi etik bahwa tradisi selalu dianggap menghambat pembangunan, sulit diajak berkembang untuk mencapai kemajuan. Padahal mungkin secara emik berdasarkan pengamatan empirik, tradisi seperti kliwonan Gunung Jati didukung oleh system sosial, bisa menimbulkan integrasi, menciptakan kehidupan harmoni dan menumbuhkan solidaritas sosial.

- Ada kekuatan apa sebetulnya yang mendorong tradisi kliwonan Gunung Jati tampak efektif diselenggarakan dan semakin menarik minat masyarakat Islam di tengah kehidupan modern, meskipun jelas menimbulkan pro kontra karena dianggap bertentangan dengan norma dan nilai-nilai ideologi Islam. Bahkan ada kecenderungan tradisi ini menjadi semacam model wisata religi yang potensial di kabupaten Cirebon, meskipun tidak luput dari masalah-masalah sosial.

METODE DAN CARA PANDANG

- Penelitian tentang tradisi kliwonan Gunung Jati, dilakukan melalui metode deskriptif kualitatif, menggunakan model etnografis naturalistik yang bersifat grounded. Penelitian Etnografi adalah model antropologis di mana peneliti sendiri menjadi instrument penelitian, melakukan kerja lapangan (field work) untuk melihat, mengamati dan mkencatat perilaku orang-orang dalam dunianya sendiri. Tehnik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi partisipasi, di mana peneliti berada di tengah-tengah masyarakat pengunjung seperti penziarah pada umumnya dan wawancara mendalam dengan para juru kunci atau abdi dalem, para penziarah yang datang dari berbagai daerah, para pedagang, para pemuda, ustadz, kyai dan perangkat desa Astana.

- Untuk mendekati konflik ideologi dalam perkembangan tradisi kliwonan, penulis menggunakan cara pandang (perspektif/paradigma/model) Teori Konflik Fungsional Integratif yang pernah dikembangkan oleh Sosiolog Lewis Coser (1956), Dahrendarf (1957) dan Randall Collins (1975).

Bahwa masyarakat hidup dalam dunia subyektif yang dibangunnya sendiri (that people life in self constructed subjective worlds), dan masyarakat lain mempunyai kekuatan untuk melakukan control. Masyarakat mempunyai persepsi sendiri berdasarkan system budayanya, meskipun mungkin secara subyektif belum tentu sesuai dengan system ideologi. Paradigma ini melihat perbedaan faham, ideologi bukan sebagai sesuatu yang harus dipertentangkan, melainkan saling melengkapi dan berfungsi integratif.

HASIL PENELITIAN

1. Tradisi Kliwonan Gunung Jati sebagai sistem budaya berfungsi integratif. Kliwonan sebagai suatu tradisi tidak bisa lepas dari masalah agama, karena di dalamnya terdapat karakter ideologi yakni keyakinan yang dianggap benar oleh masyarakat.

2. Meskipun terdapat konflik ideologi yang menimbulkan pro dan kontra, tradisi kliwonan akan tetap bertahan dan berkembang mengiringi proses modernisasi. Hal ini terjadi karena adanya potensi kepercayaan, pengetahuan, norma dan nilai-nilai sosial budaya yang diyakini benarnya oleh masyarakat penziarah, serta nilai ekonomis yang menguntungkan bagi kesejahteraan dan kelangsungan hidup penduduk.

3. Penelitian ini mengukuhkan teori konflik yang menyatakan bahwa setiap masyarakat mempunyai konflik-konflik. Tidak ada masyarakat yang bisa bertahan tanpa konflik. Jadi konflik adalah sesuatu yang manusiawi, dan bisa terjadi di tengah kehidupan masyarakat manapun juga, termasuk kelompok masyarakat yang pro dan kontra terhadap tradisi kliwonan Gunung Jati.

4. Melalui cara pandang konflik fungsional integratif, dapat dibuktikan bahwa kelompok ummat Islam yang saling bertentangan faham, seperti santri, abangan dan priyayi; tradisionalis dan modernis; syi’ah dan sunni; mereka semua bisa bersatu dan berada dalam satu lokasi tradisi kliwonan Gunung Jati, meskipun memiliki fungsi berbeda. Kelompok Santri misalnya dalam posisi melaksanakan ajaran Tarekat dan Sufi; sedangkan kelompok abangan dan priyayi memanfaatkan keramat Sinuhun Gunung Jati sebagai mitos yang dapat mendatang berkah dan dijadikan wasilah bagi do’a-do’a mereka.

5. Tradisi Kliwonan Gunung Jati secara fenomenologis merupakan realitas sosial dan kebudayaan dengan pemahaman maknawi, sebagaimana dijelaskan oleh Clifford Geertz (1973) bahwa masyarakat memandang gejala-gejala kebudayaan sebagai simbol-simbol yang mengandung makna. Tokoh wali misalnya dalam persepsi masyarakat dianggap sebagai simbol “orang suci” yang dapat menjadi wasilah atau penghubung untuk menyampaikan do’a-do’a mereka kepada Allah swt. Perilaku mandi menggunakan air dari sumur tujuh di kawasan pemukiman Gunung Jati, difahami pengunjung sebagai simboll “membersihkan diri dari dosa-dosa” yang mungkin melekat pada tubuh mereka. Sedangkan Masjid Keramat Gunung Jati dani lokasi pemakaman dianggap sebagai simbol “tempat yang kondusif untuk berdo’a”. Sehingga mereka rela berdzikir dan tidur di masjid atau di pinggir makam leluhur, dengan harapan memperoleh berkah.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

1. Secara sosiologis, dapat disimpulkan bahwa modernisasi belum tentu mampu merubah suatu tradisi yang berakar dalam masyarakat, apalagi didukung oleh kebutuhan ekonomi yang sangat diperlukan bagi kesejahteraan dan kelangsungan hidup penduduk.

2. Secara antropologis, ditemukan paradigma baru bahwa mekanisme konflik ideologi berfungsi sebagai resistensi kebudayaan yang memberi kekuatan pada tradisi, agar suatu tradisi tetap eksis dan dapat dipertahankan keberadaannya.

3. Perilaku tradisi kliwonan kemungkinan merupakan refleksi tradisi Islam Jawa sebagai wujud sinkretisme budaya yang banyak dianut oleh mayoritas muslim di Indonesia, baik kelompok modernis, tradisionalis, pragmatis; yang secara formal masih menghormati nilai-nilai spiritual, walaupun hakikatnya hanya legitimasi terhadap upaya mengejar materi.

4. Ada dua potensi makna yang mendukung terselenggaranya Tradisi Kliwonan Gunung Jati akan tetap bertahan di tengah kehidupan masyarakat modern, yakni : Makna Material menyangkut nilai-nilai ekonomis yang dianggap lebih menguntungkan bagi kesejahteraan dan kelangsungan hidup penduduk; dan Makna Spiritual berupa nilai-nilai kepercayaan masyarakat terhadap mitos dan hal-hal ghaib, semacam arwah para wali yang diyakini bisa memberikan berkah.

5. Ada dua motif yang menjadi daya tarik masyarakat untuk mendukung tetap terselenggaranya Tradisi Kliwonan Gunung Jati ; Pertama, motif ziarah dengan cara berdo’a, dzikir dan tahlil, sebagai jalan spiritual (tarekat) untuk memperoleh pengalaman batin (makrifat) sehingga bisa mencapai kehidupan yang sebenarnya (hakikat). Kedua, motif sejarah, karena peninggalan Sinuhun Gunung Jati sebagai penyebar agama Islam di Jawa, bisa menjadi mitos yang memberikan berkah bagi orang-orang yang hidup.

6. Bagi pemerintah daerah Kabupaten atau Kota Cirebon khususnya, dan Bakorwil mewakili Provinsi Jawa Barat, potensi tradisi kliwonan dengan segala masalahnya dapat dijadikan model pengembangan wisata religi. Pengkajian lebih lanjut terhadap masalah ini, bisa dilakukan melalui lokakarya khusus dalam rangka pemberdayaan masyarakat lokal serta pembangunan pariwisata Cirebon.

7. Untuk menghindari perilaku syirik yang tergolong dosa besar, maka diperlukan kerjasama pemerintah dengan mahasiswa atau sarjana alumni Jurusan Dakwah STAIN Cirebon, guna memberikan penyuluhan khusus menyangkut etika berziarah kubur, agar tidak mendekati musyrik.

MENGURANGI ASAP ROKOK

MEMBANTU KESEHATAN MASYARAKAT

Prof. Dr. H. Abdullah Al, M.A.

(Guru Besar Ilmu Sosial – STAIN Cirebon)

Rokok dan Kesehatan

Merokok memang merupakan hak azasi setiap orang sesuai kegemaran dan kebiasaannya. Bagi mereka yang terbiasa merokok ada kenikmatan tersendiri saat menghisap, menebarkan asap yang mengepul bergulung-gulung, melayangkan pandangan bebas sebebas berkeliarannya asap rokok yang sedang dinikmati. Konon kabarnya, bagi mereka yang sudah mencandu rokok, ibaratnya masih mending enggak makan sehari, daripada harus meninggalkan rokok. Berapapun biaya yang harus dikeluarkan enggak peduli, yang penting asap rokok harus mengepul, bibir terasa pahit dan asam ketika tidak menjepit sebatang rokok. Kenikmatan merokok memang hanya bisa dirasakan oleh para pecandu dan penggemar rokok, tanpa harus memikirkan akibatnya. Soal kesehatan yang mestinya dijaga, dengan cara mengurangi rokok, agar tidak terjangkit penyakit paru-paru atau sesak nafas, dijawab oleh para pecandu rokok, katanya yang tidak merokok juga banyak yang tidak sehat. Kadang-kadang mereka juga menyaksikan kenyataan yang kontradiktif, ketika seorang dokter menasihati pasiennya supaya meninggalkan rokok, sementara dokter sendiri juga masih banyak yang merokok. Kepala sekolah dan guru-guru di sekolah selalu mengingatkan agar tidak ada siswanya yang merokok, sebab merokok berbahaya bagi kesehatan, merokok berbahaya bagi paru-paru, merokok di sekolah juga tidak etis berdasarkan norma dan etika pendidikan. Sementara itu, masih banyak kepala sekolah yang belum bisa meninggalkan rokoknya, masih banyak guru yang merokok sambil mengajar di dalam kelas, di depan murid-muridnya. Katanya, dengan merokok bisa mendatangkan aspirasi dan inspirasi.

Merokok memang tidak dilarang, agama juga tidak eksplisit mengharamkan rokok, paling-paling para ulama menempatkan rokok dalam posisi “makruh”. Apalagi kalau melalui rokok anak-anak muda zaman sekarang seringkali mencampurkannya dengan narkoba, shabu-shabu, ganja dan sebangsanya, yang membuat orang menjadi terlena, terbius oleh angan-angan, sejenak melupakan kehidupan dunia, terlebih jika sampai mabok tak sadarkan diri. Makanan minuman atau candu yang mendekatkan orang pada perilaku tak sadar, hilang akal dan hilang ingatan, bisa diberlakukan hukum haram. Karena itu, meskipun merokok tidak tegas-tegas dilarang oleh agama, sebagian ulama menyebutnya “syubhat”, jika menimbulkan akibat mudharat yang merusak kebersamaan, merusak lingkungan dan merusak kesehatan. Dengan demikian menghindari perilaku merokok, barangkali akan lebih baik, bukan saja bermanfaat bagi kesehatan dirinya, kesehatan lingkungan, juga menghemat anggaran biaya, yang mestinya bisa dimanfaatkan untuk keperluan lain. Kesehatan sangat mahal harganya, sebab itu upaya preventif melalui dakwah KTR barangkali akan banyak membantu, karena para penggemar dan pecandu rokok belajar menghargai orang lain yang kebetulan merasa terganggu adanya kepulan asap rokok. Masyarakat anti rokok juga bermaksud menghormati para pecandu rokok, melalui program Kawasan Tanpa Rokok, dengan tetap memberi kesempatan merokok tetapi di luar ruangan yang ditelah ditentukan. Bagi orang yang tidak mampu, program KTR barangkali akan dapat lebih menghemat pengeluaran biaya sehari-hari, sehingga bisa digunakan untuk kebutuhan yang lebih urgen. Andaikata setiap hari para pecandu rokok menghabiskan biaya 10 sampai 50 ribu rupiah, maka dalam waktu satu bulan paling tidak 300 ribu rupiah terbakar percuma dan sia-sia. Bagi penduduk miskin, uang tersebut barangkali bisa digunakan untuk membayar spp selama 12 bulan. Meskipun mungkin katanya para pecandu rokok juga telah menyumbang devisa negara melalui bea cukai atau pajak rokok, tetapi akibat buruk yang ditimbulkannya lebih parah menanggung resiko, mengakibatkan munculnya berbagai penyakit.

Sebuah penelitian di Kanada menambah satu alasan lagi untuk segera berhenti merokok. Kebiasaan menghisap tembakau itu ternyata bisa merusak sperma dan akan menurunkan kerusakan genetik tersebut kepada keturunannya. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ibu yang merokok bisa membahayakan janin. Kini penelitian kami membuktikan bahwa kebiasaan merokok seorang ayah juga membahayakan keturunan mereka, bahkan sebelum mereka bertemu dengan isteri mereka. Ujar pemimpin penelitian Carole Yauk dari Divisi Tolksikologi Lingkungan dan Okupasional Departemen Kesehatan Kanada.Yauk dan rekan-rekannya meneliti sel induk yang memproduksi sel sperma pada tikus yang dipapari asap rokok selama enam atau 12 minggu. Hasilnya, tikus yang terpapar asap rokok mengalami mutasi DNA 1,7 kali lebih tinggi daripada tikus yang tidak terpapar asap rokok selama 12 minggu. Sedangkan yang terpapar enam minggu hanya mengalami mutasi 1,4 kali lebih tinggi.

Kawasan Tanpa Asap Rokok

Dakwah kawasan tanpa rokok dimaksudkan agar para pecandu rokok tidak sembarang merokok dalam ruangan tertentu, apalagi ber AC. Ruang seperti perkantoran pemerintah atau swasta, ruang ibadah masjid atau musholla, dan gereja, ruang fasilitas umum seperti sekolah, rumah sakit, puskesmas dan angkutan kota layak ditentukan sebagai kawasan tanpa rokok. Menyediakan kawasan tanpa rokok (KTR), sama sekali tidak bermaksud melarang orang untuk merokok. Kepada mereka yang kebetulan sudah mencandu dan tidak bisa dicegah, dipersilakan merokok, tetapi tidak dalam ruangan. Silakan merokok, tetapi keluar dulu dari ruangan yang ditentukan sebagai kawasan tanpa rokok.

Hak azasi para pecandu rokok, dengan sangat tetap kita hormati, agar kebiasaan merokoknya tidak terbelenggu dengan disediakannya kawasan tanpa rokok. Sebaliknya kepada bapak dan saudara yang kebetulan menjadi penggemar rokok, apapun motif dan alasannya, dengann hormat kami mengajak untuk menghormati masyarakat sekitar yang kebetulan alergi terhadap rokok atau asap rokok. Dalam ruang perkantoran, selayaknya para karyawan tidak mengumbar asap rokok yang bisa menimbulkan polusi dan akibatnya menimbulkan penyakit bengek dan paru-paru. Dalam ruangan tempat ibadah, masjid, musholla, gereja, vihara atau puri sangat dianjurkan untuk tidak merokok, meskipun mungkin diperlukan agar tempat ibadah tetap bersih dari udara kotor yang berkeliaran. Dalam ruangan Rumah Sakit, Puskesmas dan Balai pengobatan sangat dianjurkan untuk tidak merokok di sembarang tempat. Begitu pula dalam angkutan umum, para penggemar rokok seharusnya tahu diri, jangan sampai mengumbar polusi yang bisa berakibat sesak nafas bagi manusia di sekelilingnya. Dengan tidak merokok dalam angkutan umum, para bapak dan saudara perokok berat, bisa memperoleh pahala, karena dapat menolong orang-orang di dalam angkutan umum tersebut` terhindar dari bau asap yang tak sedap, merusak hidung, merusak lingkungan hidup, merusak pernafasan dan merusak paru-paru.

Melalui buku karya tulis Muchtar A.F. berkaitan dengan perilaku merokok,berangkat dari adanya Peraturan Pemerintah RI no. 19 Tahun 2003 Tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan yang ditandatangani oleh Presiden RI tanggal 10 Maret 2003, barangkali para pembaca khususnya dan masyarakat umumnya, lebih terbuka menuju kesadaran untuk tidak merokok di sembarang tempat, yang bisa mengganggu kesehatan masyarakat. Khusus para penggemar atau pecandu rokok, dengan tidak bermaksud mengurangi hak azasi, marilah kita mulai mengurangi kebiasaan merokok, atau lanjutkan kebiasaan merokok di luar ruangan, sehingga tidak harus mengganggu kesehatan orang-orang lain yang kebetulan alergi terhadap asap rokok. Trimakasih dan mohon maaf.

Cirebon, 06 Agustus 2007

Tidak ada komentar: