Minggu, Mei 11, 2008

Transper Belajar (Psikologi Pendidikan)

BAB I

PENDAHULUAN

Sebagian terbesar dari proses perkembangan berlangsung melalui kegiatan belajar. Belajar yang disadari atau tidak, sederhana atau kompleks, belajar sendiri atau dengan bantuan guru, belajar dari buku atau media elektronika, belajar di sekolah atau di rumah, di lingkungan kerja atau di masyarakat.

Belajar selalu berkenaan dengan perubahan-perubahan pada diri orang yang belajar, apakah itu mengarah kepada hal yang lebih baik atau pun yang kurang baik, direncanakan atau tidak. hal lain yang juga terkait dalam belajar adalah pengalaman, pengalaman yang berbentuk interaksi dengan orang lain atau lingkungannya.

Unsur perubahan dan pengalaman hampir selalu ditekankan dalam rumusan atau definisi tentang belajar yang dikemukakan para ahli.

Mengenai peranan unsur pengalaman dalam belajar beberapa ahli menekankan hal tersebut dalam definisi mereka. Menurut Gage and Berliner belajar adalah “…suatu proses perubahan tingkah laku yang muncul karena pengalaman.

Mengenai pengertian perubahan dalam rumusan di atas dapat menyangkut hal yang sangat luas, menyangkut semua aspek kepribadian individu. Perubahan tersebut dapat berkenaan dengan penguasaan dan penambahan pengetahuan, kecakapan, sikap, nilai, motivasi, kebiasaan, minat, apresiasi, dsb. Demikian juga dengan pengalaman, berkenaan dengan segala bentuk pengalaman atau hal-hal yang pernah dialami. Pengalaman karena membaca, melihat, mendengar, merasakan, melakukan, menghayati, membayangkan, merencanakan, melaksanakan, menilai, mencoba, menganalisis, memecahkan dsb.

Siswa sebagai peserta didik sekaligus juga berperan sebagai anggota masyarakat. Antara sekolah dengan masyarakat terdapat kaitan yang sangat erat. Lebih dari itu, justru sekolah adalah salah satu lembaga di antara lembaga-lembaga yang ada dalam masyarakat dan diadakan untuk kepentingan masyarakat serta individu siswa sendiri sebagai anggota masyarakat. Dengan demikian masyarakat mengharapkan, bahwa apa yang dipelajari di sekolah dapat berguna bagi masyarakat. Tetapi bagaimana berlangsung, itulah yang berkaitan dengan soal transper belajar.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Transper Belajar

Istilah transper dipakai dalam pelbagai lapangan. Sebagai istilah transper mempunyai arti yang berbeda-beda, sesuai dengan lapangan ilmu yang menggunakannya. Pengertian transper dalam perbankan atau keuangan tentu lain dengan pengertiannya dalam evaluasi pendidikan dan lain pula dalam psikologi pendidikan.

Ditinjau dari segi bahasa, transper dapat diartikan sebagai “pemindahan”. Dalam psikologi istilah itu dipadukan dengan kata belajar; terjadilah transper belajar.

Sebagai istilah dirumuskan dengan batasan yang berbeda-beda oleh para pakar psikologi pendidikan.

a. Alice Crow dalam bukunya An Outline of Educational Psychology menyatakan, bahwa transper belajar adalah “the procces of carrying over habits of thinking, knowledge, or skill from one learning area to another”.

b. Herbert Sorenson dalam bukunya Psychology in Education menyatakan bahwa transper adalah “the process by which something learned in one situation is used in another…”

Dari contoh batasan-batasan di atas, yang tampak berbeda-beda dalam susunan kata-katanya, dapat kita ambil intisari pengertiannya, bahwa transper belajar menunujukkan adanya pemindahan dalam arti penggunaan hasil belajar (misalnya di sekolah) untuk menghadapi situasi, kejadian-kejadian, masalah-masalah dan sebagainya di lingkungan lain (misalnya di masyarakat). Yang digunakan atau dimanpaatkan dapat berupa pikiran, pengetahuan atau pun keterampilan.

Dalam literatur lain dijelaskan bahwa tansper dalam belajar yang lazim disebut transper belajar (Transper of learning) itu mengandung arti pemindahan keterampilan hasil belajar dari satu situasi ke situasi lainya (Reber 1988). Kata “pemindahan keterampilan” tidak berkonotasi hilangnya keterampilan melakukan sesuatu pada masa lalu karena diganti dengan keterampilan baru pada masa sekarang. Oleh sebab itu, definisi di atas harus dipahami sebagai pemindahan pengaruh atau pengaruh keterampilan melakukan sesuatu terhadap tercapainya keterampilan melakukan sesuatu lainnya.

B. Transper dalam Belajar

Pengetahuan dan keterampilan siswa sebagai hasil belajar pada masa lalu seringkali mempengaruhi proses belajar yang sedang dialaminya sekarang. Inilah yang disebut transper dalam belajar.

Demikianlah kita dapat mengatakan transper belajar, apabila yang telah kita pelajari dapat dipergunakan untuk mempelajari yang lain. Biasanya transper ini terjadi karena adanya persamaan sifat antara yang lama dengan yang baru, meskipun tidak benar-benar sama. Anak yang pandai berhitung soalan lebih mampu jika disuruh berbelanja ke pasar. Anak yang pandai menguasai bahasa lebih mudah mempelajari ilmu bumi daripada anak yang lain.

Akan tetapi, tidak selamanya transper itu terjadi dengan baik seperti yang telah diuraikan di atas. Benarkah anak yang pandai ilmu pasti akan pandai pula dalam bidang-bidang lain? Dapatkah kecakapan dalam ilmu pasti itu ditransperkan ke dalam kecakapan bergaul dengan teman-temannya atau dengan orang lain? Dapatkah dipastikan bahwa anak yang pandai ilmu ukur akan pandai dalam pertukangan? Terjadinya transper dalam belajar tergantung kepada cara individu itu mengamati dan mengalami kedua situasi yang telah dan yang akan dipelajarinya, dan tergantung pula kepada sifat dari kedua situasi itu dan cara bagaimana individu itu belajar.

Transper dalam belajar ada yang bersifat positif dan ada yang negatif. Transper belajar disebut positif jika pengalaman-pengalaman atau kecakapan-kecakan yang telah dipelajari dapat diterapkan untuk mempelajari situasi yang baru. Atau dengan kata lain, respons yang lama dapat memudahkan untuk menerima stimulus yang baru. Disebut transper negatif jika pengalaman atau kecakapan yang lama menghambat untuk menerima pelajaran/kecakapan yang baru. Contohnya seseorang yang telah biasa mengetik dengan dua jari, jika ia akan belajar mengetik dengan sepuluh jari tanpa melihat, akan lebih banyak mengalami kesukaran daripada seseorang yang baru belajar mengetik.

C. Ragam Transper Belajar

Gagne (baca: Gaenye) seorang pakar psikologi pendidikan yang masyhur menggolongkan transper belajar ke dalam empat kategori.

1. Transper positif, yaitu transper yang berefek baik terhadap kegiatan belajar selanjutnya.

2. Transper negatif, yaitu transper yang berefek buruk terhadap kegitan belajar selanjutnya;

3. Transper vertikal, yaitu transper yang berefek baik terhadap kegiatan belajar pengetahuan/keterampilan yang lebih tinggi.

4. Transper lateral, yaitu transper yang berefek baik terhadap kegiatan belajar pengetahuan/keterampilan yang sederajat.

Penjelasan lebih lanjut mengenai aneka ragam transper, baik dari Thorndike maupun dari Robert M. Gagne tersebut adalah sebagai berikut.

1. Transper Positif

Pengertian transper belajar pada umumnya dimaksudkan sebagai transper yang positif, yaitu dengan adanya proses itu situasi baru yang dihadapi menjadi lebih efektif dan lebih efisien. Sebagai contoh, karena seorang tukang kayu kehilangan alat pembuat sudut siku yang akan dipakai untuk membuat sudut 90 di atas papan, ia mengambil seutas benang dan sebuah pensil untuk menggunakan pengetahuan matematika yang ia pelajari di sekolah, karena itu terjadilah transper belajar.

Jadi transper positif memungkinkan seseorang dalam menghadapi situasi baru memperoleh perbaikan-perbaikan, bahkan dalam menghadapi itu dapat lebih efektif dan efisien.

Transper positif yang telah diutarakan di muka, akan mudah terjadi pada diri seorang siswa apabila situasi belajarnya dibuat sama atau mirip dengan situasi sehari-hari yang akan ditempati siswa tersebut kelak dalam mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan yang telah ia pelajari di sekolah. Transper positif dalam pengertian inilah sebenarnya yang perlu diperhatikan oleh guru, mengingat tujuan pendidikan secara umum adalah tercapainya sumber daya manusia yang berkualitas. Kualitas inilah yang didapat dari lingkungan pendidikan untuk digunakannya dalam kehidupan sehari-hari.

Sementara itu, menurut teori yang dikembangkan Thorndike, transper positif hanya akan terjadi apabila dua materi pelajaran memiliki kesamaan unsur. Hal-hal lain seperti kesamaan situasi situasi dan benda-benda yang digunakan untuk belajar sebagaimana tersebut dalam teori Gagne, tidak dianggap berpengaruh. Untuk memperkuat asumsinya, Thorndike memberi contoh, jika anda telah memecahkan masalah geometri (ilmu ukur)yang mengandung sejumlah hurup tertentu sebagai petunjuk, maka anda tak akan mentransper kemampuan memecahkan masalah geometri itu untuk memecahkan masalah geometri lainnya yang menggunakan huruf yang berbeda.

Dalam perspektif psikologi kognitif masa kini, mekanisme transper positif ala Thorndike yang telah telanjur diyakini banyak pakar itu ternyata hanya isapan jempol belaka. Singley & Anderson misalnya, sangat meragukan teori yang menganggap trsnsper sebagai peristiwa spontan dan mekanis seperti yang diyakini orang selama ini. Keraguan itu timbul karena cognitivitist telah banyak menemukan peristiwa transper positif yang sangat mencolok antara kedua keterampilan yang memiliki unsur yang sangat berbeda, namun memiliki unsur logika yang sama.

Berdasarkan hasil-hasil riset kognitif antara lain seperti di atas, Anderson yakin bahwa transper positif hanya akan terjadi pada diri seorang siswa apabila dua wilayah pengetahuan atau keterampilan yang dipelajari siswa tersebut menggunakan dua fakta dan pola yang sama, dan membuahkan hasil yang sama pula. Dengan kata lain, dua domain pengetahuan tersebut merupakan sebuah pengetahuan yang sama. Jadi menurutnya, orang yang menduga bahwa seorang siswa yang telah pandai membaca Al-Qur’an akan secara otomatis mudah belajar bahasa arab karena ada kesamaan elemen (sama-sama bertuliskan arab) perlu dipertanyakan. Tetapi, seorang siswa yang pandai dalam seni baca Al-Qur’an (Qari) sangat mungkin dia mudah belajar tarik suara (menyanyi), karena dalam dua wilayah keterampilan itu terdapat kesamaan struktur logika, yakni logika seni. Demikian pula halnya dengan siswa yang sudah menguasai bahasa san sastra Indonesia, ia mungkin akan mudah menjadi seorang pengarang. Sekali lagi, mudahnya siswa tersebut menjadi pengarang, bukan karena adanya kesamaan elemen, melainkan karena antara penguasaan bahasa dan sastra dengan aktivitas mengarang itu terdapat “benang merah” yang muncul dari struktur logika pengetahuan yang sama.

2. Transper Negatif

Transper negatif dapat dialami seorang siswa apabila ia belajar dalam situasi tertentu yang memiliki pengaruh merusak terhadap keterampilan/pengetahuan yang dipelajari dalam situasi-situasi lainnya. Pengertian ini diambil dari Educational Psychology : The Teaching-Learning Process oleh Daniel Lenox Barlow (1985) yang menyatakan bahwa transper negatif itu berarti, learning in one situation has a damaging effect in other situations.

Dengan demikian, pengaruh keterampilan atau pengetahuan yang telah dimiliki oleh siswa sendiri tak ada hubungannya dengan kesulitan yang dihadapi siswa tersebut ketika mempelajari pengetahuan atau keterampilan lainnya. Jadi kesulitan belajar mengetik sepuluh jari seperti yang dicontohkan di atas belum tentu disebabkan oleh kebiasaan mengetik dua jari yang sebelumnya sudah dikuasai.

Menghadapi kemungkinan terjadinya transper negatif itu, yang penting bagi guru ialah menyadari dan sekaligus menghindarkan para siswanya dari situasi-situasi belajar tertentu yang diduga keras akan berpengaruh negatif terhadap kegiatan belajar para siswa tersebut pada masa yang akan datang.

3. Transper Vertikal

Transper vertikal (tegak lurus) dapat terjadi dalam diri seorang siswa apabila pelajaran yang telah dipelajari dalam situasi tertentu membantu siswa tersebut dalam menguasai pengetahuan/keterampilan yang lebih tinggi atau rumit. Misalnya, seorang siswa SD yang telah menguasai prinsip penjumlahan dan pengurangan pada waktu menduduki kelas II akan mudah mempelajari perkalian pada waktu dia menduduki kelas III.

Agar memperoleh transper vertikal, guru sangat dianjurkan untuk menjelaskan kepada para siswa secara eksplisit mengenai faidah materi yang sedang diajarkannya bagi kegiatan belajar materi lainnya yang lebih kompleks.

4. Transper Lateral

Transper lateral (ke arah samping) dapat terjadi dalam diri seorang siswa apabila ia mampu menggunakan materi yang telah dipelajarinya untuk mempelajari materi yang sama kerumitannya dalam situasi-situasi yang lain. Dalam hal ini, perubahan waktu dan tempat tidak mengurangi mutu hasil belajar siswa tersebut.

Contoh, seorang lulusan STM yang telah menguasai teknologi “X” dari sekolahnya dapat menjalankan mesin tersebut di tempat kerjanya. Di samping itu, ia juga mampu mengikuti pelatihan menggunakan teknologi mesin-mesin lainnya yang mengandung elemen dan kerumitan yang kuring lebih sama dengan mesin “X” tadi.

D. Beberapa Teoti Transper Belajar

Teori transper belajar adalah pemikiran atau pendapat mengenai bagaimana transper belajar itu terjadi. Teori-teori yang perlu kita bicarakan adalah sebagai berikut:

1. Teori transper belajar menurut psikologi daya

Teori ini bertitik tolak dari pandangan ilmu jiwa bahwa jiwa itu terdiri atas gejala-gejala/daya-daya jiwa, seperti: daya mengamati, daya ingatan, daya berfikir, daya perasaan, daya kemauan dan sebagainya.

Menurut teori daya (biasa disebut juga “formal discipline”), daya-daya jiwa yang ada pada manusia itu dapat dilatih. Dan setelah terlatih dengan baik, daya-daya itu dapat digunakan pula untuk pekerjaan lain yang menggunakan daya tersebut, dengan demikian terjadilah transper belajar. Misalkan murid-murid dilatih belajar sejarah, dengan mempelajari pelajaran sejarah tidak boleh tidak daya ingatannya sering digunakan untuk mengingat-ngingat bermacam-macam peristiwa, dan sebagainya. Ingatan anak itu makin terlatih dan makain baik terhadap pelajaran itu. Maka menurut teori daya, daya ingatan yang telah terlatih baik bagi pelajaran itu dapat digunakan pula (ditransperkan) kepada pekerjaan lain.

teori ini masih memiliki kekurangan, diantaranya, pertama, teori daya terlalu menganggap jiwa terdiri dari daya-daya yang terpisah-pisah satu dari yang lain. Sehingga dengan melatih masing-masing dari daya itu sendiri-sendiri mereka berharap telah dapat mendidik orang itu. Padahal jiwa manusia itu merupakan suatu kebulatan; daya-daya jiwa erat hubungannya satu sama lain, tidak dapat dipisah-pisahkan. Kedua, teori daya terlalu mementingkan nilai formal dari tiap-tiap mata pelajaran di sekolah. Nilai praktis dan nilai material dari mata pelajaran itu tidak dihiraukan. Pandangan belajar inilah yang menimbulkan cara-cara mengajar yang bersifat verbalistis.

2. Teori transper belajar berdasar konsep Identical Elements dan Identical Components

Kedua pendapat dalam teori ini sebenarnya sama. Menurut teori-teori ini transper terjadi, jika antara situasi yang lalu atau hasil belajar yang lalu dengan situasi yang dihadapi atau bahan pelajaran yang dihadapi terdapat aspek-aspek yang sama. Sebagai contoh seorang siswa yang dihadapkan pada keadaan yang memerlukan pemecahan, umpama ada sebuah kotak kayu terbuka mirip sampan yang akan ditaruh di atas air. Ia dapat menentukan tentang berat benda yang akan diletakkan di atas kotak kayu sampai batas tertinggi menjelang tenggelam. Untuk menentukannya ia menggunakan pengetahuan yang telah dipelajarinya. Ternyata hal itu dapat dimungkinkan karena ia telah mempelajari hukum Archimedes. Maka terjadilah transper belajar. Hal itu dimungkinkan karena antara situasi yang dihadapi dengan situasi yang lalu terdapat kesamaan aspek-aspek.

BAB III

PENUTUP

Sebagai cataan akhir pembahasan ini, perlu penyusun utarakan beberapa contoh peristiwa belajar yang secara lahiriah tampak seperti transper tapi sesungguhnya bukan. Contoh-contoh ini penting untuk diketahui agar siswa dan guru tidak terkecoh oleh timbulnya sesuatu yang baru dan baik sebagai sesuatu yang sedang diharapkan, yakni transper positif.

Pertama, seorang siswa yang telah berkemampuan menulis dengan menggunakan tangan kanan, lalu suatu saat dia mampu juga menulis dengan tangan kirinya. Kejadian seperti ini sama halnya dengan kemampuan seorang siswa memantul-mantulkan bola dengan tangan kanannya, keudian ternyata siswa tersebut mampu juga memantul-mantulkan bola dengan tangan kirinya walaupun tanpa latihan khusus. Peristiwa-peristiwa seperti ini tampaknya seperti transper karena kemampuan tangan kanan seakan-akan memberi pengaruh pada kemampuan munculnya kemampuan tangan kirinya, padahal bukan transper. Peristiwa-peristiwa tadi hanya merupakan bukti bahwa perilaku belajar itu bersipat organic, yakni melibatkan kesuluruhan organ-organ tubuh, termasuk organ otak meskipun siswa tadi tidak tampak memikirkan bagaimana cara memantulkan bola dengan tangan kirinya. Peristiwa yang tampak seperti transper tadi juga lazim disebut cross education, yakni pendidikan silang.

Kedua, seorang anak SD yang mengenal hurup “u” dalam kata “gula” suatu saat dapat pula mengenal hurup tersebut dalam kata “guru” atau “madu” dan sebagainya. Seorang siswa SLTP yang telah menguasai sebuah rumus dalam matematika, kemudian mampu menyelesaikan soal-soal matematika yang berhubungan dengan rumus yang telah dikuasainya itu. Kasus yang terjadi pada anak SD tadi bukan transper, melainkan peristiwa penerapan hasilbelajar perceptual belaka. Sedangkan kasus siswa SLTP itu merupakan kasus penerapan kemampuan yang telah ia peroleh sebelumnya. Jadi, keduanya bukan transper.

Sebagai penutup dari makalah ini, kami penyusun berharap mudah-mudahan tulisan ini bisa bermanpaat khususnya bagi penyusun dan umumnya bagi seluruh pembaca untuk kemajuan dunia pendidikan.

Kami menyadari, bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan, oleh karena itu kritik dan saran yang bersipat membangun sangat kami harapkan. Masukan dan koreksi juga sangat kami harapkan dari ibu dosen sebagai bahan evaluasi bagi kami untuk kemajuan di masa yang akan datang.

DAFTRA PUSTAKA

Thonthowi, Ahmad (1993) Psikologi Pendidikan. Bandung: Angkasa

Syah, Muhibbin (2006) Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Bandung: Rosda Karya

Purwanto, Ngalim (2004) Psikologi Pendidikan. Bandung: Rosda karya

Sukmadinata, Nana Syaodih (2005) Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: Rosda Karya


Tidak ada komentar: