Minggu, Mei 11, 2008

Pendidikan Akidah dari segi Kejiwaan

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan akidah merupakan asas kepada pembinaan Islam pada diri seseorang. Ia merupakan inti amalan Islam seseorang. Seseorang yang tidak memiliki akidah menyebabkan amalannya tidak mendapat pengiktirafan Allah swt. Ayat-ayat yang pertama diturunkan oleh Allah swt kepada Nabi Muhammad saw di Makkah menjurus kepada pembinaan akidah. Dengan asas pendidikan dan penghayatan akidah yang kuat dan jelas maka Nabi Muhammad saw telah berjaya melahirkan sahabat-sahabat yang mempunyai daya tahan yang kental dalam mempertahan dan mengembangkan Islam ke seluruh dunia. Bilal bin Rabah tidak berganjak imannya walaupun disiksa dan ditindih dengan batu besar di tengah padang pasir yang panas terik. Demikian juga keluarga Amar bin Yasir tetap teguh iman mereka walau berhadapan dengan ancaman maut. Dari sini kita nampak dengan jelas bahwa pendidikan akidah amat penting dalam jiwa setiap insan muslim agar mereka dapat mempertahan iman dan agama Islam lebih-lebih lagi di zaman globalisasi yang penuh dengan cabaran dalam segenap penjuru terutamanya internet dan teknologi maklumat yang berkembang dengan begitu pesat sekali.

Setiap akidah mempunyai pengaruh dalam jiwa orang yang berakidah yang mendorongnya untuk bertindak dan berperilaku sesuai dengan keyakinannya. Keyakinan terhadap Allah mempunyai efek yang dalam di jiwa muslimin yang mempunyai hasil secara riil dalam kehidupan sosial mereka sehari-hari

B. Pokok Bahasan

1. Apa Pengertian Akidah?

2. Bagaiman Urgensi Pendidikan Akidah?

3. Bagaimana Pendidikan Akidah dari segi Kejiwaan?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi dan Urgensi Akidah

Perkataan akidah berasal dari perkataan bahasa Arab yaitu "aqada” yang bererti ikatan atau simpulan. Perkataan ini juga digunakan pada sesuatu yang maknawi seperti akad nikah dan akad jual beli. Dari ikatan atau simpulan yang maknawi ini maka lahirlah akidah yaitu ikatan atau simpulan khusus dalam kepercayaan. Sementara dari segi istilah, akidah bermakna kepercayaan yang terikat erat dan tersimpul kuat dalam jiwa seseorang sehingga tidak mungkin tercerai atau terurai. Akidah menurut istilah syara’ pula bermakna kepercayaan atau keimanan kepada hakikat-hakikat atau nilai-nilai yang mutlak, yang tetap dan kekal, yang pasti dan hakiki, yang kudus dan suci seperti yang diwajibkan oleh syara’ yaitu beriman kepada Allah swt, rukun-rukun Iman, rukun-rukun Islam dan perkara-perkara ghaibiyyat.

Akidah adalah apa yang diyakini oleh seseorang. Jika dikatakan, “Dia mempunyai akidah yang benar,” berarti akidahnya bebas dari keraguan. Akidah merupakan perbuatan hati, yaitu kepercayaan hati dan pembenaran terhadap sesuatu.

Akidah di dalamnya juga mencakup rukun iman yang enam, yaitu iman kepada Allah, para malaikat Allah, Rasul-rasul Allah, beriman kepada Hari Akhir dan beriman kepada qadar yang baik maupun yang buruk.

Akidah yang benar adalah fundamen bagi bangunan agama serta merupakan syarat sahnya amal. Sebagaimana firman Allah Swt: “Barangsiapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya. “ (QS. Al-Kahfi: 110)

“ Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada nabi-nabi yang sebelummu, Jika kamu mempersekutukan (Tuhan) niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi’. “ (QS. Az-Zumar: 65)

“ Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya. Ingatlah hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih dari syirik. “ (QS. Az-Zumar: 2-3)

Tidaklah perhatian saat itu kecuali pelurusan akidah. Dan hal pertama yang didakwahkan para rasul kepada umatnya adalah menyembah Allah semata dan meninggalkan segala yang dituhankan selain Dia. Selama 13 tahun di Makkah, nabi mengajak manusia kepada tauhid dan pelurusan akidah, karena hal itu merupakan landasan bangunan Islam.

Para nabi dan rasul mereka membawa syari’at masing-masing, sehingga dalam hal ini syari’at dibagi menjadi 2 yaitu : Itiqadiyah dan amaliyah.

Syari’at i’tiqadiyah memiliki pengertian pada hal-hal yang tidak berhubungan dengan tata cara amal, seperti i’tiqad (kepercayaan) terhadap rububiyah Allah dan kewajiban beribadah kepada-Nya, misalnya, ber-i’tiqad terhadap rukun-rukun iman yang lain. Sedangkan syari’at amaliyah adalah segala apa yang berhubungan dengan tata cara amal, seperti zakat, puasa, dan seluruh hukum-hukum amaliyah.

Syari’at i’tiqadiyah disebut sebagai ashliyah (pokok agama) sedangkan syari’at amaliyah disebut sebagai far’iyah (cabang agama).

B. Pendidikan Akidah dari Segi Kejiwaan

Setiap akidah mempunyai pengaruh dalam jiwa orang yang berakidah yang mendorongnya untuk bertindak dan berperilaku sesuai dengan keyakinannya. Keyakinan terhadap Allah mempunyai efek yang dalam di jiwa muslimin yang mempunyai hasil secara riil dalam kehidupan sosial mereka sehari-hari. Hal itu bisa dijelaskan secara global melalui poin-poin berikut:

1) Ketenangan Jiwa

Manusia beragama akan memperoleh ketenangan dalam akidahnya meskipun berbagai badai peristiwa bergolak di sekitarnya. Akidah akan menjaganya dari kecemasan dan ketegangan, dan menciptakan suasana kejiwaan yang penuh dengan ketenangan dan harapan walaupun ia hidup dalam lingkungan yang tidak tenang dan berbahaya.

Sejarah Islam menjelaskan kepada kita berbagai contoh yang tidak terhitung jumlahnya tentang hal itu. Muslimin dahulu hidup dalam kondisi yang sangat sulit, di mana peperangan yang dipicu oleh kaum Quraisy dan sekutunya, embargo ekonomi, keterasingan sosial serta tekanan moral yang berkelanjutan. Namum karena mereka memiliki spiritual yang tinggi, hal itu mampu mendorong mereka untuk berjuang menghadapi itu semua dengan jiwa yang tenang guna memperoleh pahala dari Allah dan rahmat-Nya.

Dari Anas bahwasanya Rasulullah saww di hari Badr bersabda: “Bangkitlah kalian untuk memperoleh surga yang lebarnya langit dan bumi”. “Wahai Rasulullah, surga lebarnya langit dan bumi?”, tanya ‘Umair bin Hamam Al-Anshari keheran-heranan. “Ya”, jawab beliau pendek. ‘Umair bekata lagi: “Alangkah bagusnya, wahai Rasulullah. Demi Allah, saya harus menjadi penghuni surga itu”. Rasulullah saww bersabda: “Engaku termasuk penghuni surga itu”. Kemudian Umair mengeluarkan beberapa kurma dari wadahnya dan memakannya seraya berkata: “Jika aku diam di sini untuk menghabiskan semua kurma ini, sungguh aku akan terlambat memperoleh kehidupan yang panjang dan abadi (surga) itu”. Lalu ia melemparkan kurma tersebut dan berperang hingga syahid.

Lingkungan yang didiami mujahid ini adalah lingkungan berbahaya. Ia hidup dalam situasi perang Badr. Namun jiwanya bahagia, karena ia mengharapkan surga yang luasnya seperti langit dan bumi. Maka, seorang muslim dengan keyakinannya kepada Allah, akan merasa rela dan tentram terhadap apa yang terjadi di sekitarnya dan menempatkan dirinya sesuai dengan ketentuan dan takdir Allah. Segala musibah yang menimpanya sekarang akan berubah menjadi kenikmatan dan berkah. Dan Alquran selalu menanamkan semangat tersebut di dalam jiwa setiap mukmin. Allah SWT berfirman:

(Dan boleh jadi kamu kurang menyukai sesuatu sedang ia berguna kepadamu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu sedang ia merusakmu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui).

Hadis-hadis Ahlul Bayt a.s. juga berusaha untuk menanamkan semangat tersebut di dalam jiwa mukminin.

Amirul Mukminin a.s. mengirim surat kepada Ibnu Abbas. Ia berkata mengenai surat itu: “Ucapan yang bermanfaat bagiku setelah sabda Rasulullah saww adalah ucapan ini”. Beliau menulis: “Amma ba’d. Seseorang terkadang merasa gembira ketika ia meraih sesuatu dan setelah itu ia tidak akan berpisah darinya dan terkadang ia merasa sedih karena ia tidak dapat meraih sesuatu dan setelah itu ia tidak akan dapat meraihnya lagi.

Maka, berbahagialah ketika kamu dapat memperoleh sesuatu yang dapat kamu manfaatkan untuk akhiratmu dan bersedihlah ketika kamu tidak dapat meraihnya untuk akhiratmu”.

Benar, bahwa manusia biasa selalu diliputi oleh rasa putus asa ketika tertimpa musibah. Sebagaimana Alquran dengan nyata menjelaskan hal itu dengan firman-Nya: “Dan jika ia ditimpa malapetaka, ia menjadi putus asa lagi putus harapan”.

Dan firman-Nya yang lain: “Dan jika Kami menganugerahkan suatu rahmat kepada manusia lalu rahmat itu Kami cabut darinya, niscaya ia menjadi putus asa lagi tak berterima kasih”.

Namun seorang mukmin yang dipersenjatai dengan akidah, ia akan tenang dalam menghadapi segala kesulitan, sabar ketika terkena malapetaka dan keraguan tidak akan merasuki jiwanya.

Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya tidak berputus dari rahmat Allah, melainkan kaum kafir”.

Imam Ali a.s. menyifati para wali Allah dengan perkataannya:

(Apabila mereka ditimpa musibah, niscaya mereka akan meminta pertolongan kepada-Mu, karena mereka tahu bahwa kendali semua urusan berada di tangan-Mu dan bersumber dari Qadla`-Mu).

Dengan memperhatikan hal di atas, disaat Amirul Mukminin a.s. dalam wasiat tersebut menekankan untuk tidak putus asa dari rahmat Allah, beliau dalam doktrin-doktrin pendidikannya juga menegaskan untuk tidak berharap kepada orang lain. Hal ini ditujukan supaya manusia hanya bersandar kepada Tuhannya dan tidak menjadi beban orang lain.

Berkenaan dengan hal tersebut di atas beliau berkata:

(Kekayaan yang terbesar adalah tidak mengharapkan sesuatu yang berada di tangan manusia).

2) Metode Akidah dalam Menghadapi Malapetaka

Melalui konteks ini, akidah ingin meringankan tekanan dan krisis kejiwaan yang dialami oleh mereka yang berakidah. Maka dengan metode-metode di bawah ini diharapkan malapetaka-malapetaka yang menimpa manusia tidak memiliki pengaruh yang serius:

1. Menjelaskan kriteria kehidupan dunia yang ditempati oleh manusia ini.

Mengetahui kriteria kehidupan dunia akan mempengaruhinya dalam perilakunya sehari-hari. Oleh karena itu, akidah berkepentingan untuk menjelaskan kriteria dunia dan mengajaknya untuk ber-zuhud terhadapnya.

Imam Ali a.s. berkata:

(Wahai manusia, lihatlah dunia ini sebagaimana orang-orang zahid yang berpaling dari dunia melihatnya. Karena dunia ini sebentar lagi akan membinasakan orang-orang yang tinggal di dalamnya dengan tenang dan menyedihkan orang-orang yang hidup mewah dan penuh kedamaian. Kebahagian dunia selalu dihantui oleh kesedihan ...).

Beliau juga berkata: “Saya peringatkan kepadamu akan dunia, karena dunia itu adalah tempat berlalu dan kesengsaraan. Penghuninya akan pergi meninggalkannya. Dunia dan penghuninya akan selalu bergoncang (tidak tenang) laksana perahu ...”.

Maka, sangat wajar jika akidah mewanti-wanti para pengikutnya untuk tidak terjerat oleh jebakan-jebakan dunia yang fana. Karena hal itu akan menimbulkan efek-efek negatif yang terefeksi dalam jiwa mereka.

‘Alqamah meriwayatkan dari Abdullah, ia berkata: “Rasulullah saww tidur di atas tikar yang terbuat dari pelepah kurma. Ketika beliau bangun, tikar tersebut berbekas di punggungnya. Kami berkata: `Wahai Rasulullah, bagaimana jika kami buatkan untuk anda kasur yang empuk?` Beliau menjawab: `Apakah gerangan kebutuhanku dengan dunia? Aku di dunia ini bak seorang pengembara yang berlindung di bawah pohon untuk beristirahat sejenak, dan kemudian ia akan pergi meninggalkannya`”.

Imam Ali a.s. berkata: “Aku peringatkan kalian akan dunia, karena dunia adalah tempat tinggal pinjaman dan bukan tempat berpesta foya untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Dunia telah dihiasi dengan segala corak tipu daya dan akan memperdayai (manusia) dengan hiasannya. Dunia akan menghinakan pemiliknya. Telah bercampur aduk halalnya dunia dengan haramnya, kebaikannya dengan keburukannya, kehidupannya dengan kematiannya dan kemanisannya dengan kepahitannya. Allah tidak memilih dunia untuk dianugerahkan kepada para wali-Nya dan Ia tidak segan-segan untuk memberikannya kepada musuh-musuh-Nya. Harta dunia akan sirna, kesengsaraannya besar, mengumpulkannya tidak akan berguna, kerajaannya akan terampas dan orang yang memakmurkannya akan binasa. Maka, apa manfaat sebuah rumah yang akan hancur laksana hancurnya bangunan, umur akan musnah di dalamnya bagaikan musnahnya sebungkus bekal dan masa akan sirna bak sirnanya sebuah perjalanan ...”.

Syaikh Ad-Dailami berkata: “Tidak ada sorangpun yang mampu menyingkap kriteria dunia seperti Imam Ali a.s. Beliau berkata: `Dunia adalah rumah yang diselimuti oleh bencana dan terkenal dengan tipu dayanya. Kondisinya tidak tetap dan penghuninya tidak selamat. Kondisi dunia berbeda-beda dan datang silih berganti. Kehidupan di dunia ini tercela dan ketentraman di dalamnya akan sirna. Penduduk dunia ini laksana papan tembak. Dunia akan melempari mereka dengan busur panah dan membinasakan mereka dengan jeritan kematiannya ...`”.

Dan sangat wajar pula jika pemahaman yang dalam akan dunia itu akan mewujudkan sebuah kewaspadaan penuh terhadapnya. Sebagai bukti atas kebenaran klaim di atas adalah realita berikut ini. Muawiyah pernah bertanya kepada Dlirar bin Dlamirah Asy-Syaibani tentang Amirul Mukminin, Ali a.s. Dia berkata: “Aku bersaksi bahwa aku pernah melihat beliau di suatu malam yang gelap gulita berdiri di dalam mihrab dengan menggenggam jenggot beliau. Beliau mengeliat-geliat bagaikan orang yang sakit parah dan menangis laksana tangisan orang yang sangat sedih. Beliau berkata: `Wahai dunia, Wahai dunia, berpalinglah dariku! Apakah engkau merayuku atau merindukanku? Kesempatanmu untuk merayuku tidak akan pernah tiba. Tidak mungkin hal itu. Rayulah selainku. Aku tidak akan butuh kepadamu. Aku telah menceraikanmu tiga kali yang tidak ada kata kembali setelah itu. Kehidupanmu sangat pendek, nilaimu sangat sedikit dan angan-anganmu sangat hina. Oh, betapa sedikitnya bekal (yang aku punya), betapa panjangnya jalan (yang harus aku tempuh), dan betapa jauh dan berbahayanya perjalanan ini`.

Dan di antara bukti-bukti lain atas hal itu, kita dapati akidah menyingkap kriteria dunia dan akibat orang-orang yang tertipu olehnya atau terjerumus ke dalam lumpur keindahannya, dan menjelaskan dangkalnya pandangan orang yang mencari kesenangan sempurna di dunia ini.

Imam Ash-Shadiq a.s. berkata kepada para sahabat: “Janganlah kalian bercita-cita untuk menggapai sesuatu yang mustahil”. Mereka bertanya: “Siapakah yang menginginkan hal itu ?” Beliau menjawab: “Bukankah kalian menginginkan kesenangan dunia?” “Ya”, jawab mereka pendek. Beliau bersabda : “Kesenangan di dunia bagi seorang mukmin adalah mustahil”.

2. Menjelaskan bahwa semua malapetaka memiliki pahala.

Hal ini akan memperingan beban seseorang yang terkena musibah sehingga ia akan menghadapinya dengan hati yang teguh dan jiwa yang tenang untuk memperoleh pahala dan rahmat Allah. Oleh karena itu, musibah tersebut tidak akan meninggalkan pengaruh yang berarti dalam jiwanya melebihi bekas yang ditinggalkan gelembung air di atas permukaan air.

Rasulullah saww bersabda:

(Musibah adalah kunci pahala).

Seseorang menulis surat kepada Abi Ja’far a.s. mengadu kematian putranya. Beliau menjawab surat itu: “Apakah kau tidak tahu bahwa Allah akan mencabut harta seorang mukmin, anak dan jiwanya untuk memberikan pahala kepadanya karena itu?”

3. Memfokuskan perhatian muslimin terhadap musibah yang terbesar, yaitu musibah yang menimpa agamanya.

Hal ini akan memperkecil efek musibah dunia dalam jiwanya. Ini adalah salah satu metode akidah untuk meringankan tekanan kejiwaan seseorang ketika menghadapi musibah duniawi. Metode ini menempati posisi yang utama dalam metode-metode pendidikan Ahlul Bayt a.s.

Diriwayatkan bahwa Imam Shadiq a.s. melihat seseorang bersedih hati karena kematian anaknya. Beliau berkata kepadanya: “Wahai saudaraku, engkau bersedih hati karena musibah kecil (yang menimpamu) dan engkau lalai akan musibah besar? Seandainya engkau telah siap untuk menerima kematian anakmu sejak dulu, niscaya engkau tidak bersedih hati separah ini. Sebenarnya kesedihan yang disebabkan oleh keteledoranmu untuk mempersiapkan diri menghadapi sebuah musibah adalah lebih parah dari kesedihanmu dikarenakan oleh kematian anakmu ini”.

Abu Abdillah a.s. ketika tertimpa musibah berkata:

(Segala puji bagi Allah yang tidak menjadikan musibahku menimpa agamaku. Segala puji bagi Allah yang apabila berkehendak, Ia akan menjadikan musibahku lebih besar dari yang sudah ada. Dan segala puji bagi Allah atas segala sesuatu yang jika Ia menghendaki pasti akan terjadi.

Ringkasnya, akidah dapat membentuk jiwa-jiwa yang kuat dan tenang dalam menghadapi badai peristiwa dengan hati yang teguh menerima ketentuan Allah dan qadar-Nya. Di samping itu, akidah juga menentukan garis perjalanan kesempurnaan manusia. Oleh karena itu, manusia yang tidak berakidah bagaikan perahu tanpa kompas yang akibatnya ia akan menabrak batu-batu karang.

3) Membebaskan Jiwa dari Rasa Takut

Tidak syak lagi bahwa ketakutan selalu merintangi segala aktivitas seseorang dan melumpuhkan daya berpikir dan jasmaninya. Dahulu kala, manusia Jahiliyah selalu takut kepada saudara sesamanya dan segala tipu dayanya. Takut terhadap lingkungan yang mengitarinya dan bencananya. Takut terhadap kematian yang tiada jalan untuk menolaknya. Takut akan kefakiran dan kelaparan, penyakit dan segala penderitaan. Akidah mampu memperingan perasaan takut yang melumpuhkan daya manusia untuk bergerak dan berproduksi, dan menjadikannya selalu sedih dan cemas itu.

4) Penyakit dapat Menghapus Dosa dan Mendatangkan Pahala

Akidah dapat mengurangi ketakutan manusia terhadap penyakit dengan menegaskan bahwa setiap badan pasti akan mengalami sakit.

Imam Ali a.s. berkata:

(Tidak sepatutnya bagi seorang hamba terlalu percaya kepada dua hal: kesehatan dan kekayaan. (Karena) di saat engkau melihatnya sehat, mungkin tiba-tiba ia sakit dan di saat engkau melihatnya kaya, mungkin tiba-tiba ia fakir).

Akidah juga menegaskan bahwa penyakit dapat menghilangkan dosa. Imam Sajjad a.s. berkata:

(Seorang mukmin ketika terserang penyakit panas satu kali, dosa-dosanya akan rontok darinya laksana rontoknya dedaunan yang kering).

Abu Abdillah a.s. berkata:

(Sakit kepala satu malam akan membasmi setiap dosa, kecuali dosa besar).

Di samping segala keistimewaan penyakit yang telah disebutkan dalam hadis-hadis di atas, penyakit juga mendatangkan pahal yang besar bagi yang menderitanya. Hal ini dapat membantunya untuk menghadapi penyakit tersebut dengan tulus hati.

Berkenaan dengan hal di atas Rasulullah saww bersabda:

(Aku heran terhadap seorang mukmin yang mengaduh karena sakit. Seandainya ia tahu tentang pahala yang tersimpan dalam sebuah penyakit, niscaya ia mengharapkan untuk selalu sakit hingga ia berjumpa dengan Tuhannya).

Imam Ridha a.s. berkata:

(Penyakit bagi orang mu’min adalah penyucian dan rahmat, sedangkan bagi orang kafir adalah siksaan dan laknat. Seorang mukmin akan selalu ditimpa penyakit sehingga dosa-dosanya sirna).[183]

Kesimpulannya, Allah tidak menciptakan penyakit dengan sia-sia. Penyakit adalah satu sarana untuk menguji manusia demi mengetahui kesabarannya terhadap segala bencana. Oleh karena itu, Allah menguji para nabi-Nya dan hamba-hamba-Nya yang shalih dengan penyakit.

Nabi Ayyub a.s. - seperti yang telah kita ketahui bersama - mengalami penyakit di sekujur tubuhnya. Ibnul Atsir Ad-Dimasyqi menulis: “Tidak satupun anggota tubuhnya yang selamat kecuali hati dan lidahnya. Ia selalu berzikir kepada Allah dengan hati dan lidah itu. Meskipun demikian, ia sabar, tabah dan selalu mengingat Allah dalam setiap kesempatan; pagi, siang, sore dan malam. Penyakitnya berlangsung lama sehingga teman dan para sahabatnya menjauh darinya. Ia diusir dari negerinya, dan masyarakatnya tidak sudi lagi berhubungan dengannya. Tidak seorang pun yang berbelas kasihan kepadanya, kecuali istrinya yang tahu balas budi terhadap segala kebaikannya di masa lalu. Semua itu hanya memperbesar kesabaran, ketabahan dan puji syukurnya (kepada Allah). Kesabaran Ayyub as ini telah menjadi peribahasa di kalangan masyarakat dunia”.

Dan hasil dari kesabaran dan ketabahannya itu, Allah mengembalikan semua kemuliaan dan kejayaan yang selama ini ia punyai kepadanya.

Akidah, di samping memerintahkan muslimin untuk bersabar menghadapi segala bentuk penyakit, ia juga menasehatinya untuk tidak mengeluh karena penyakit itu. Karena mengeluh itu berarti menuduh Allah atas segala qadla`-Nya. Begitu juga, mengaduh karena penyakit itu dapat merendahkan martabat manusia di mata manusia lain, dan ia akan dicela dan diejek karenanya.

Amirul Mukminin Ali a.s. berkata:

(Dahulu kala aku mempunyai saudara yang agung di mataku karena remehnya dunia di matanya. Ia tidak pernah mengeluh tentang penyakit yang dideritanya kecuali ketika ia sembuh).

Perlu diingat, ketika akidah ingin membasmi rasa takut dari diri manusia, ia juga menanamkan rasa takut kepada Allah semata, memperingatkannya untuk tidak bermaksiat kepada-Nya dan mengingatkan kepadanya siksa-Nya yang pedih. Karena rasa takut kepada Allah itu adalah satu-satunya jalan untuk bebas dari segala rasa takut.

Alquran di sejumlah ayat menganjurkan manusia untuk selalu takut kepada Allah SWT. Allah berfirman: “Katakanlah, sesungguhnya aku takut akan azab hari yang besar (kiamat) jika aku mendurhakai Tuhanku”.

Dalam ayat yang lain Ia berfirman: “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya”.

Rasulullah saww bersabda:

(Allah tidak akan menguasakan atas Bani Adam kecuali orang yang mereka takuti. Seandainya Bani Adam tidak takut kecuali kepada-Nya, Ia tidak akan menguasakan orang lain atas mereka).

Dalam hadis yang lain beliau bersabda:

(Beruntunglah orang yang lebih takut kepada Allah dari pada takut kepada manusia).

Tentu saja takut kepada Allah ini memiliki efek pendidikan yang sangat penting bagi umat manusia. Berkenaan dengan hal ini Imam Shadiq a.s. berkata:

(Barang siapa yang mengenal Allah, maka ia akan takut kepada-Nya, dan barang siapa yang takut kepada Allah, ia akan enggan kepada dunia).

Di samping itu, rasa takut kepada Allah itu juga mempunyai efek-efek sosial yang dapat mendorong setiap individu untuk membantu orang lain.

Allah SWT berfirman: “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan tawanan. Sesungguhnya kami memberikan makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridlaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya kami takut akan azab suatu hari yang (di hari itu orang-orang bermuka) masam, penuh kesulitan (yang datang) dari Tuhan kami”.

Kesimpulannya, akidah telah mampu membentuk jiwa yang shalih dan membuka cakrawala luas baginya dengan jalan membebaskannya dari segala rasa takut. Begitu juga akidah telah mampu menghubungkannya dengan Penciptanya, mengingatkannya akan segala nikmat-Nya dan mengingatkannya akan siksa-Nya yang pedih.

5) Mengenal Diri (Ma’rifatun Nafs)

Di antara sumbangsih akidah adalah ia mendorong insan muslim untuk mengenal dirinya. Karena tidak mungkin baginya untuk mengangkat dirinya ke puncak piramida kesempurnaan kecuali dengan mengenal kriteria dirinya. Pengenalan ini adalah langkah pertama untuk menguasai jiwa dan mengekang hawa nafsunya.

Imam Al-Baqir a.s. berkataka: “Tiada pengetahuan yang lebih mulia dari pengenalanmu terhadap dirimu.

Ada hubungan yang kuat antara mengenal Allah dan mengenal diri. Melalui pengenalan terhadap diri, kriteria dan kemampuannya, manusia dapat mengenal Penciptanya dan mengagungkan kebesaran-Nya. Dalam sebuah hadis disebutkan: “Barang siapa yang mengenal dirinya, ia akan mengenal Tuhannya”. Dan sebaliknya, melupakan Allah, menyebabkan manusia lupa terhadap dirinya.

Allah berfirman: “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri”.

C. Peranan Akidah dalam Mengenalkan Manusia akan Dirinya

Tidak diragukan lagi bahwa akidah - melalui sumber-sumber rujukan pengetahuannya - memiliki peranan besar dalam menyingkap kriteria diri (jiwa) manusia, dan merinci secara detail penyakit-penyakitnya dan efek-efek yang muncul dari penyakit-penyakit itu.

Alquran mengakui bahwa jiwa itu cenderung mengajak manusia kepada kejahatan.

Allah berfirman: “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat olehTuhanku”.

Alquran juga mengakui bahwa jiwa manusia itu cenderung kikir.

Allah SWT berfirman: “Dan jiwa manusia itu adalah kikir”.

Dan di ayat yang lain Ia berfirman: “Dan barang siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka adalah orang-orang yang beruntung”.

Terdapat beberapa hadis yang menyoroti kriteria jiwa dan mengutarakan metode pengobatan bagi penyakit-penyakitnya. Di antara hadis-hadis tersebut adalah surat Imam Ali a.s. kepada Malik Al-Asytar An-Nakhai ketika beliau menobatkannya sebagai gubernur di Mesir: “... Ia (Ali) memerintahkannya (Malik Al-Asytar) untuk mengekang dirinya dari hawa nafsu. Karena jiwa itu cenderung mengajak kepada kejelekan kecuali yang dirahmati oleh Allah ..”.

Beliau juga pernah berkata dalam sebuah khotbahnya: “Kami memohon pertolongan-Nya atas jiwa yang sangat lambat untuk mengerjakan segala yang diperintahkan kepadanya ini dan cepat untuk mengerjakan segala yang dilarang ...”.

Dalam kesempatan yang lain Beliau juga berkata: “Jiwa diciptakan untuk berperilaku jelek, sedang hamba diperintahkan untuk selalu berperangai mulia. Nafsu dengan wataknya selalu berjalan dalam penyimpangan dan seorang hamba selalu berusaha menolak tuntutan-tuntutan jeleknya. Maka ketika ia melepaskan tali kendali jiwanya, ia telah ikut serta dalam merusakkannya. Dan barang siapa yang membantu jiwanya dalam memenuhi tuntutan hawa nafsunya, maka ia telah ikut serta dalam membinasakan dirinya ...”.

Di sini perlu juga dijelaskan bahwa penyakit-penyakit yang menimpa jiwa manusia jika tidak diobati, hal itu dapat menimbulkan akibat-akibat jelek dan berbahaya. Sebagi bukti atas hal itu, fitnah besar yang pernah menimpa muslimin di Saqifah memiliki latar belakang penyakit jiwa. Amirul Mukminin a.s. ketika ditanya oleh sebagian sahabat beliau: “Bagaimana kaum anda menyingkirkan anda dari kedudukan itu (khilafah) sedangkan anda lebih pantas atas kedudukan itu?”, berkata: “Adapun kesewenang-wenangan mereka terhadap kami dengan merampas kedudukan ini sedangkan keturunan kami lebih mulia (dari keturunan mereka) dan kami lebih dekat dengan Rasulullah saww, hal itu pengaruh ketamakan dan keengganan mereka. Dan hakam adalah Allah”.

Dari ucapan beliau itu dapat kita ketahui bahwa kerakusan dan ketamakan yang tersimpan dalam jiwa sebagian para sahabat adalah faktor utama penyimpangan terbesar yang pernah dialami oleh sejarah Islam sesaat setelah meninggalnya Rasulullah saww. Oleh karena itu, para imam Ahlul Bayt a.s. dengan kema’shuman mereka masih sering memohon perlindungan kepada Allah supaya menjaga mereka dari penyakit jiwa yang sangat berbahaya ini.

Al-Fadhl bin Abi Qurrah berkata: “Saya melihat Abu Abdillah a.s. berthawaf dari permulaan malam hingga pagi. Ketika Thawaf beliau selalu berdoa:

(Ya Allah, jagalah aku dari kekikiran dan ketamakan jiwaku). Aku bertanya: `Wahai junjunganku, aku tidak mendengar anda berdoa dengan selain doa ini?` Beliau berkata: `Penyakit jiwa apakah yang lebih berbahaya dari penyakit tamak dan kikir? Allah berfirman: `Dan barang siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung`”.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Dari pembahasan makalah di atas kita dapat menarik beberapa kesimpulan:

1. Perkataan akidah berasal dari perkataan bahasa Arab yaitu "aqada yang bererti ikatan atau simpulan. Perkataan ini juga digunakan pada sesuatu yang maknawi seperti akad nikah dan akad jual beli. Dari ikatan atau simpulan yang maknawi ini maka lahirlah akidah iaitu ikatan atau simpulan khusus dalam kepercayaan. Sementara dari segi istilah, akidah bermaksud kepercayaan yang terikat erat dan tersimpul kuat dalam jiwa seseorang sehingga tidak mungkin tercerai atau terurai. Akidah menurut istilah syara" pula bermaksud kepercayaan atau keimanan kepada hakikat-hakikat atau nilai-nilai yang mutlak, yang tetap dan kekal, yang pasti dan hakiki, yang kudus dan suci seperti yang diwajibkan oleh syara" iaitu beriman kepada Allah swt, rukun-rukun Iman, rukun-rukun Islam dan perkara-perkara ghaibiyyat.

2. Akidah yang benar adalah fundamen bagi bangunan agama serta merupakan syarat sahnya amal. Sebagaimana firman Allah subhaanahu wa ta’ala, “ Barangsiapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya. “ (QS. Al-Kahfi: 110)

3. Setiap akidah mempunyai pengaruh dalam jiwa orang yang berakidah yang mendorongnya untuk bertindak dan berperilaku sesuai dengan keyakinannya. Keyakinan terhadap Allah mempunyai efek yang dalam di jiwa muslimin yang mempunyai hasil secara riil dalam kehidupan sosial mereka sehari-hari.

DAFTAR FUSTAKA

Jalaluddin, (2007). Psikologi Agama. Jakarta: PT Raja wali pers.

Ulwan, Nasih, (1995). Pendidikan Anak dalam Islam. Jakarta: Pustaka Amani.

http://hikmah.sitesled.com

http://beranda.blogsome.com

http://belajarislam.com

http://google.com

http://indoskripsi.com


Tidak ada komentar: