BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan akidah merupakan asas kepada pembinaan Islam pada diri seseorang. Ia merupakan inti amalan Islam seseorang. Seseorang yang tidak memiliki akidah menyebabkan amalannya tidak mendapat pengiktirafan Allah swt. Ayat-ayat yang pertama diturunkan oleh Allah swt kepada Nabi Muhammad saw di Makkah menjurus kepada pembinaan akidah. Dengan asas pendidikan dan penghayatan akidah yang kuat dan jelas maka Nabi Muhammad saw telah berjaya melahirkan sahabat-sahabat yang mempunyai daya tahan yang kental dalam mempertahan dan mengembangkan Islam ke seluruh dunia. Bilal bin Rabah tidak berganjak imannya walaupun disiksa dan ditindih dengan batu besar di tengah padang pasir yang panas terik. Demikian juga keluarga Amar bin Yasir tetap teguh iman mereka walau berhadapan dengan ancaman maut. Dari sini kita nampak dengan jelas bahwa pendidikan akidah amat penting dalam jiwa setiap insan muslim agar mereka dapat mempertahan iman dan agama Islam lebih-lebih lagi di zaman globalisasi yang penuh dengan cabaran dalam segenap penjuru terutamanya internet dan teknologi maklumat yang berkembang dengan begitu pesat sekali.
Setiap akidah mempunyai pengaruh dalam jiwa orang yang berakidah yang mendorongnya untuk bertindak dan berperilaku sesuai dengan keyakinannya. Keyakinan terhadap Allah mempunyai efek yang dalam di jiwa muslimin yang mempunyai hasil secara riil dalam kehidupan sosial mereka sehari-hari
B. Pokok Bahasan
1. Apa Pengertian Akidah?
2. Bagaiman Urgensi Pendidikan Akidah?
3. Bagaimana Pendidikan Akidah dari segi Kejiwaan?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi dan Urgensi Akidah
Perkataan akidah berasal dari perkataan bahasa Arab yaitu "aqada” yang bererti ikatan atau simpulan. Perkataan ini juga digunakan pada sesuatu yang maknawi seperti akad nikah dan akad jual beli. Dari ikatan atau simpulan yang maknawi ini maka lahirlah akidah yaitu ikatan atau simpulan khusus dalam kepercayaan. Sementara dari segi istilah, akidah bermakna kepercayaan yang terikat erat dan tersimpul kuat dalam jiwa seseorang sehingga tidak mungkin tercerai atau terurai. Akidah menurut istilah syara’ pula bermakna kepercayaan atau keimanan kepada hakikat-hakikat atau nilai-nilai yang mutlak, yang tetap dan kekal, yang pasti dan hakiki, yang kudus dan suci seperti yang diwajibkan oleh syara’ yaitu beriman kepada Allah swt, rukun-rukun Iman, rukun-rukun Islam dan perkara-perkara ghaibiyyat.
Akidah adalah apa yang diyakini oleh seseorang. Jika dikatakan, “Dia mempunyai akidah yang benar,” berarti akidahnya bebas dari keraguan. Akidah merupakan perbuatan hati, yaitu kepercayaan hati dan pembenaran terhadap sesuatu.
Akidah di dalamnya juga mencakup rukun iman yang enam, yaitu iman kepada Allah, para malaikat Allah, Rasul-rasul Allah, beriman kepada Hari Akhir dan beriman kepada qadar yang baik maupun yang buruk.
Akidah yang benar adalah fundamen bagi bangunan agama serta merupakan syarat sahnya amal. Sebagaimana firman Allah Swt: “Barangsiapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya. “ (QS. Al-Kahfi: 110)
“ Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada nabi-nabi yang sebelummu, Jika kamu mempersekutukan (Tuhan) niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi’. “ (QS. Az-Zumar: 65)
“ Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya. Ingatlah hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih dari syirik. “ (QS. Az-Zumar: 2-3)
Tidaklah perhatian saat itu kecuali pelurusan akidah. Dan hal pertama yang didakwahkan para rasul kepada umatnya adalah menyembah Allah semata dan meninggalkan segala yang dituhankan selain Dia. Selama 13 tahun di Makkah, nabi mengajak manusia kepada tauhid dan pelurusan akidah, karena hal itu merupakan landasan bangunan Islam.
Para nabi dan rasul mereka membawa syari’at masing-masing, sehingga dalam hal ini syari’at dibagi menjadi 2 yaitu : I’tiqadiyah dan amaliyah.
Syari’at i’tiqadiyah memiliki pengertian pada hal-hal yang tidak berhubungan dengan tata cara amal, seperti i’tiqad (kepercayaan) terhadap rububiyah Allah dan kewajiban beribadah kepada-Nya, misalnya, ber-i’tiqad terhadap rukun-rukun iman yang lain. Sedangkan syari’at amaliyah adalah segala apa yang berhubungan dengan tata cara amal, seperti zakat, puasa, dan seluruh hukum-hukum amaliyah.
Syari’at i’tiqadiyah disebut sebagai ashliyah (pokok agama) sedangkan syari’at amaliyah disebut sebagai far’iyah (cabang agama).
B. Pendidikan Akidah dari Segi Kejiwaan
Setiap akidah mempunyai pengaruh dalam jiwa orang yang berakidah yang mendorongnya untuk bertindak dan berperilaku sesuai dengan keyakinannya. Keyakinan terhadap Allah mempunyai efek yang dalam di jiwa muslimin yang mempunyai hasil secara riil dalam kehidupan sosial mereka sehari-hari. Hal itu bisa dijelaskan secara global melalui poin-poin berikut:
1) Ketenangan Jiwa
Manusia beragama akan memperoleh ketenangan dalam akidahnya meskipun berbagai badai peristiwa bergolak di sekitarnya. Akidah akan menjaganya dari kecemasan dan ketegangan, dan menciptakan suasana kejiwaan yang penuh dengan ketenangan dan harapan walaupun ia hidup dalam lingkungan yang tidak tenang dan berbahaya.
Sejarah Islam menjelaskan kepada kita berbagai contoh yang tidak terhitung jumlahnya tentang hal itu. Muslimin dahulu hidup dalam kondisi yang sangat sulit, di mana peperangan yang dipicu oleh kaum Quraisy dan sekutunya, embargo ekonomi, keterasingan sosial serta tekanan moral yang berkelanjutan. Namum karena mereka memiliki spiritual yang tinggi, hal itu mampu mendorong mereka untuk berjuang menghadapi itu semua dengan jiwa yang tenang guna memperoleh pahala dari Allah dan rahmat-Nya.
Lingkungan yang didiami mujahid ini adalah lingkungan berbahaya. Ia hidup dalam situasi perang Badr. Namun jiwanya bahagia, karena ia mengharapkan surga yang luasnya seperti langit dan bumi. Maka, seorang muslim dengan keyakinannya kepada Allah, akan merasa rela dan tentram terhadap apa yang terjadi di sekitarnya dan menempatkan dirinya sesuai dengan ketentuan dan takdir Allah. Segala musibah yang menimpanya sekarang akan berubah menjadi kenikmatan dan berkah. Dan Alquran selalu menanamkan semangat tersebut di dalam jiwa setiap mukmin. Allah SWT berfirman:
Hadis-hadis Ahlul Bayt a.s. juga berusaha untuk menanamkan semangat tersebut di dalam jiwa mukminin.
Amirul Mukminin a.s. mengirim surat kepada Ibnu Abbas. Ia berkata mengenai surat itu: “Ucapan yang bermanfaat bagiku setelah sabda Rasulullah saww adalah ucapan ini”. Beliau menulis: “Amma ba’d. Seseorang terkadang merasa gembira ketika ia meraih sesuatu dan setelah itu ia tidak akan berpisah darinya dan terkadang ia merasa sedih karena ia tidak dapat meraih sesuatu dan setelah itu ia tidak akan dapat meraihnya lagi.
Benar, bahwa manusia biasa selalu diliputi oleh rasa putus asa ketika tertimpa musibah. Sebagaimana Alquran dengan nyata menjelaskan hal itu dengan firman-Nya: “Dan jika ia ditimpa malapetaka, ia menjadi putus asa lagi putus harapan”.
Namun seorang mukmin yang dipersenjatai dengan akidah, ia akan tenang dalam menghadapi segala kesulitan, sabar ketika terkena malapetaka dan keraguan tidak akan merasuki jiwanya.
Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya tidak berputus dari rahmat Allah, melainkan kaum kafir”.
Imam Ali a.s. menyifati para wali Allah dengan perkataannya:
Dengan memperhatikan hal di atas, disaat Amirul Mukminin a.s. dalam wasiat tersebut menekankan untuk tidak putus asa dari rahmat Allah, beliau dalam doktrin-doktrin pendidikannya juga menegaskan untuk tidak berharap kepada orang lain. Hal ini ditujukan supaya manusia hanya bersandar kepada Tuhannya dan tidak menjadi beban orang lain.
Berkenaan dengan hal tersebut di atas beliau berkata:
(Kekayaan yang terbesar adalah tidak mengharapkan sesuatu yang berada di tangan manusia).
2) Metode Akidah dalam Menghadapi Malapetaka
Melalui konteks ini, akidah ingin meringankan tekanan dan krisis kejiwaan yang dialami oleh mereka yang berakidah. Maka dengan metode-metode di bawah ini diharapkan malapetaka-malapetaka yang menimpa manusia tidak memiliki pengaruh yang serius:
1. Menjelaskan kriteria kehidupan dunia yang ditempati oleh manusia ini.
Mengetahui kriteria kehidupan dunia akan mempengaruhinya dalam perilakunya sehari-hari. Oleh karena itu, akidah berkepentingan untuk menjelaskan kriteria dunia dan mengajaknya untuk ber-zuhud terhadapnya.
Imam Ali a.s. berkata:
Maka, sangat wajar jika akidah mewanti-wanti para pengikutnya untuk tidak terjerat oleh jebakan-jebakan dunia yang fana. Karena hal itu akan menimbulkan efek-efek negatif yang terefeksi dalam jiwa mereka.
Dan di antara bukti-bukti lain atas hal itu, kita dapati akidah menyingkap kriteria dunia dan akibat orang-orang yang tertipu olehnya atau terjerumus ke dalam lumpur keindahannya, dan menjelaskan dangkalnya pandangan orang yang mencari kesenangan sempurna di dunia ini.
2. Menjelaskan bahwa semua malapetaka memiliki pahala.
Hal ini akan memperingan beban seseorang yang terkena musibah sehingga ia akan menghadapinya dengan hati yang teguh dan jiwa yang tenang untuk memperoleh pahala dan rahmat Allah. Oleh karena itu, musibah tersebut tidak akan meninggalkan pengaruh yang berarti dalam jiwanya melebihi bekas yang ditinggalkan gelembung air di atas permukaan air.
Rasulullah saww bersabda:
(Musibah adalah kunci pahala).
3. Memfokuskan perhatian muslimin terhadap musibah yang terbesar, yaitu musibah yang menimpa agamanya.
Hal ini akan memperkecil efek musibah dunia dalam jiwanya. Ini adalah salah satu metode akidah untuk meringankan tekanan kejiwaan seseorang ketika menghadapi musibah duniawi. Metode ini menempati posisi yang utama dalam metode-metode pendidikan Ahlul Bayt a.s.
Abu Abdillah a.s. ketika tertimpa musibah berkata:
Ringkasnya, akidah dapat membentuk jiwa-jiwa yang kuat dan tenang dalam menghadapi badai peristiwa dengan hati yang teguh menerima ketentuan Allah dan qadar-Nya. Di samping itu, akidah juga menentukan garis perjalanan kesempurnaan manusia. Oleh karena itu, manusia yang tidak berakidah bagaikan perahu tanpa kompas yang akibatnya ia akan menabrak batu-batu karang.
3) Membebaskan Jiwa dari Rasa Takut
Tidak syak lagi bahwa ketakutan selalu merintangi segala aktivitas seseorang dan melumpuhkan daya berpikir dan jasmaninya. Dahulu kala, manusia Jahiliyah selalu takut kepada saudara sesamanya dan segala tipu dayanya. Takut terhadap lingkungan yang mengitarinya dan bencananya. Takut terhadap kematian yang tiada jalan untuk menolaknya. Takut akan kefakiran dan kelaparan, penyakit dan segala penderitaan. Akidah mampu memperingan perasaan takut yang melumpuhkan daya manusia untuk bergerak dan berproduksi, dan menjadikannya selalu sedih dan cemas itu.
4) Penyakit dapat Menghapus Dosa dan Mendatangkan Pahala
Akidah dapat mengurangi ketakutan manusia terhadap penyakit dengan menegaskan bahwa setiap badan pasti akan mengalami sakit.
Imam Ali a.s. berkata:
(Tidak sepatutnya bagi seorang hamba terlalu percaya kepada dua hal: kesehatan dan kekayaan. (Karena) di saat engkau melihatnya sehat, mungkin tiba-tiba ia sakit dan di saat engkau melihatnya kaya, mungkin tiba-tiba ia fakir).
Akidah juga menegaskan bahwa penyakit dapat menghilangkan dosa. Imam Sajjad a.s. berkata:
(Seorang mukmin ketika terserang penyakit panas satu kali, dosa-dosanya akan rontok darinya laksana rontoknya dedaunan yang kering).
Abu Abdillah a.s. berkata:
(Sakit kepala satu malam akan membasmi setiap dosa, kecuali dosa besar).
Di samping segala keistimewaan penyakit yang telah disebutkan dalam hadis-hadis di atas, penyakit juga mendatangkan pahal yang besar bagi yang menderitanya. Hal ini dapat membantunya untuk menghadapi penyakit tersebut dengan tulus hati.
Berkenaan dengan hal di atas Rasulullah saww bersabda:
Imam Ridha a.s. berkata:
(Penyakit bagi orang mu’min adalah penyucian dan rahmat, sedangkan bagi orang kafir adalah siksaan dan laknat. Seorang mukmin akan selalu ditimpa penyakit sehingga dosa-dosanya sirna).[183]
Kesimpulannya, Allah tidak menciptakan penyakit dengan sia-sia. Penyakit adalah satu sarana untuk menguji manusia demi mengetahui kesabarannya terhadap segala bencana. Oleh karena itu, Allah menguji para nabi-Nya dan hamba-hamba-Nya yang shalih dengan penyakit.
Dan hasil dari kesabaran dan ketabahannya itu, Allah mengembalikan semua kemuliaan dan kejayaan yang selama ini ia punyai kepadanya.
Akidah, di samping memerintahkan muslimin untuk bersabar menghadapi segala bentuk penyakit, ia juga menasehatinya untuk tidak mengeluh karena penyakit itu. Karena mengeluh itu berarti menuduh Allah atas segala qadla`-Nya. Begitu juga, mengaduh karena penyakit itu dapat merendahkan martabat manusia di mata manusia lain, dan ia akan dicela dan diejek karenanya.
Amirul Mukminin Ali a.s. berkata:
Perlu diingat, ketika akidah ingin membasmi rasa takut dari diri manusia, ia juga menanamkan rasa takut kepada Allah semata, memperingatkannya untuk tidak bermaksiat kepada-Nya dan mengingatkan kepadanya siksa-Nya yang pedih. Karena rasa takut kepada Allah itu adalah satu-satunya jalan untuk bebas dari segala rasa takut.
Rasulullah saww bersabda:
Dalam hadis yang lain beliau bersabda:
(Beruntunglah orang yang lebih takut kepada Allah dari pada takut kepada manusia).
Tentu saja takut kepada Allah ini memiliki efek pendidikan yang sangat penting bagi umat manusia. Berkenaan dengan hal ini Imam Shadiq a.s. berkata:
Di samping itu, rasa takut kepada Allah itu juga mempunyai efek-efek sosial yang dapat mendorong setiap individu untuk membantu orang lain.
Kesimpulannya, akidah telah mampu membentuk jiwa yang shalih dan membuka cakrawala luas baginya dengan jalan membebaskannya dari segala rasa takut. Begitu juga akidah telah mampu menghubungkannya dengan Penciptanya, mengingatkannya akan segala nikmat-Nya dan mengingatkannya akan siksa-Nya yang pedih.
5) Mengenal Diri (Ma’rifatun Nafs)
Di antara sumbangsih akidah adalah ia mendorong insan muslim untuk mengenal dirinya. Karena tidak mungkin baginya untuk mengangkat dirinya ke puncak piramida kesempurnaan kecuali dengan mengenal kriteria dirinya. Pengenalan ini adalah langkah pertama untuk menguasai jiwa dan mengekang hawa nafsunya.
Imam Al-Baqir a.s. berkataka: “Tiada pengetahuan yang lebih mulia dari pengenalanmu terhadap dirimu”.
Ada hubungan yang kuat antara mengenal Allah dan mengenal diri. Melalui pengenalan terhadap diri, kriteria dan kemampuannya, manusia dapat mengenal Penciptanya dan mengagungkan kebesaran-Nya. Dalam sebuah hadis disebutkan: “Barang siapa yang mengenal dirinya, ia akan mengenal Tuhannya”. Dan sebaliknya, melupakan Allah, menyebabkan manusia lupa terhadap dirinya.
C. Peranan Akidah dalam Mengenalkan Manusia akan Dirinya
Tidak diragukan lagi bahwa akidah - melalui sumber-sumber rujukan pengetahuannya - memiliki peranan besar dalam menyingkap kriteria diri (jiwa) manusia, dan merinci secara detail penyakit-penyakitnya dan efek-efek yang muncul dari penyakit-penyakit itu.
Alquran mengakui bahwa jiwa itu cenderung mengajak manusia kepada kejahatan.
Alquran juga mengakui bahwa jiwa manusia itu cenderung kikir.
Allah SWT berfirman: “Dan jiwa manusia itu adalah kikir”.
Dari ucapan beliau itu dapat kita ketahui bahwa kerakusan dan ketamakan yang tersimpan dalam jiwa sebagian para sahabat adalah faktor utama penyimpangan terbesar yang pernah dialami oleh sejarah Islam sesaat setelah meninggalnya Rasulullah saww. Oleh karena itu, para imam Ahlul Bayt a.s. dengan kema’shuman mereka masih sering memohon perlindungan kepada Allah supaya menjaga mereka dari penyakit jiwa yang sangat berbahaya ini.
Al-Fadhl bin Abi Qurrah berkata: “Saya melihat Abu Abdillah a.s. berthawaf dari permulaan malam hingga pagi. Ketika Thawaf beliau selalu berdoa:
(Ya Allah, jagalah aku dari kekikiran dan ketamakan jiwaku). Aku bertanya: `Wahai junjunganku, aku tidak mendengar anda berdoa dengan selain doa ini?` Beliau berkata: `Penyakit jiwa apakah yang lebih berbahaya dari penyakit tamak dan kikir? Allah berfirman: `Dan barang siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung`”.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan makalah di atas kita dapat menarik beberapa kesimpulan:
1. Perkataan akidah berasal dari perkataan bahasa Arab yaitu "aqada yang bererti ikatan atau simpulan. Perkataan ini juga digunakan pada sesuatu yang maknawi seperti akad nikah dan akad jual beli. Dari ikatan atau simpulan yang maknawi ini maka lahirlah akidah iaitu ikatan atau simpulan khusus dalam kepercayaan. Sementara dari segi istilah, akidah bermaksud kepercayaan yang terikat erat dan tersimpul kuat dalam jiwa seseorang sehingga tidak mungkin tercerai atau terurai. Akidah menurut istilah syara" pula bermaksud kepercayaan atau keimanan kepada hakikat-hakikat atau nilai-nilai yang mutlak, yang tetap dan kekal, yang pasti dan hakiki, yang kudus dan suci seperti yang diwajibkan oleh syara" iaitu beriman kepada Allah swt, rukun-rukun Iman, rukun-rukun Islam dan perkara-perkara ghaibiyyat.
2. Akidah yang benar adalah fundamen bagi bangunan agama serta merupakan syarat sahnya amal. Sebagaimana firman Allah subhaanahu wa ta’ala, “ Barangsiapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya. “ (QS. Al-Kahfi: 110)
3. Setiap akidah mempunyai pengaruh dalam jiwa orang yang berakidah yang mendorongnya untuk bertindak dan berperilaku sesuai dengan keyakinannya. Keyakinan terhadap Allah mempunyai efek yang dalam di jiwa muslimin yang mempunyai hasil secara riil dalam kehidupan sosial mereka sehari-hari.
DAFTAR FUSTAKA
Jalaluddin, (2007). Psikologi Agama. Jakarta: PT Raja wali pers.
Ulwan, Nasih, (1995). Pendidikan Anak dalam Islam. Jakarta: Pustaka Amani.
http://belajarislam.com
http://indoskripsi.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar