Rabu, Mei 14, 2008

PERAN STRATEGIS MAHASISWA DAN PEMUDA DALAM

PERAN STRATEGIS MAHASISWA DAN PEMUDA DALAM

ESTAFET KEPEMIMPINAN BANGSA

Ir. Hamka Hendra Noer, M.Si

PENDAHULUAN

Pemuda adalah individu yang bila dilihat secara fisik sedang mengalami perkembangan dan secara psikis sedang mengalami perkembangan emosional, sehingga pemuda merupakan sumber daya manusia pembangunan baik saat ini maupun masa datang. Sebagai calon generasi penerus yang akan menggantikan generasi sebelumnya. Secara internasional, WHO menyebut sebagai” young people” dengan batas usia 10-24 tahun, sedangkan usia 10-19 tahun disebut ”adolescenea” atau remaja. International Youth Year yang diselenggarakan tahun 1985, mendefinisikan penduduk berusia 15-24 tahun sebagai kelompok pemuda.

Secara harfiah, kamus Websters, Princeton mengartikan bahwa youth yang diterjemahkan sebagai pemuda, adalah (the time of life between childhood and maturity; early maturity; the state of being young or immature or inexperienced; the freshness and vitality characteristic of a young person). Dari definisi ini, maka dapat diinterpretasikan pemuda adalah individu dengan karakter yang dinamis, bahkan bergejolak dan optimis namun belum memiliki pengendalian emosi yang stabil. Pemuda menghadapi masa perubahan sosial maupun kultural.

Sedangkan menurut draft RUU Kepemudaan, Pemuda adalah mereka yang berusia antara 18 hingga 35 tahun. Menilik dari sisi usia maka pemuda merupakan masa perkembangan secara biologis dan psikologis. Oleh karenanya pemuda selalu memiliki aspirasi yang berbeda dengan aspirasi masyarakat secara umum. Dalam makna yang positif aspirasi yang berbeda ini disebut dengan semangat pembaharu.

Dalam pendekatan ekosferis, generasi muda berada dalam status yang sama dalam menghadapi dinamika kehidupan seperti halnya orang tua. Generasi tua sebagai ”angkatan yang berlalu” (passsing generation) berkewajiban membimbing generasi muda sebagai generasi penerus, mempersiapkan generasi muda untuk memikul tanggung jawabnya yang semakin kompleks. Di pihak lain, generasi muda yang penuh dinamika, berkewajiban mengisi akumulator generasi tua yang makin melemah, di samping memetik buah pengalaman generasi tua. Dalam hubungan ini, generasi tua tidak dapat mengklaim bahwa merekalah satu-satunya penyelamat masyarakat dan negara. Sebaliknya generasi muda tidak bisa melepaskan diri dari kewajiban untuk memelihara dan membangun masyarakat dan negara.

KAUM MUDA DAN KEPEMIMPINAN

Dalam kosakata bahasa Indonesia, pemuda juga dikenal dengan sebutan generasi muda dan kaum muda. Seringkali terminologi pemuda, generasi muda, atau kaum muda memiliki definisi beragam. Definisi tentang pemuda di atas lebih pada definisi teknis berdasarkan kategori usia sedangkan definisi lainnya lebih fleksibel. Dimana pemuda/ generasi muda/ kaum muda adalah mereka yang memiliki semangat pembaharu dan progresif.

Istilah kaum muda pertama kali diperkenalkan oleh Abdul Rivai pada tahun 1905 di majalah Bintang Hindia, No. 14. Kaum muda oleh Rivai didefinisikan sebagai seluruh rakyat Hindia (muda atau tua) tidak lagi bersedia mengikuti aturan kuno. Sebaliknya, mereka berkehendak untuk memuliakan harga diri melalui pengetahuan dan ilmu.

Sejak itu, istilah kaum muda digunakan secara luas dalam liputan media dan wacana publik oleh kaum muda terdidik. Istilah kaum muda dijadikan kode eksistensial sebuah entitas kolektif yang berbagi titik kebersamaan dalam ambisi untuk memperbarui masyarakat Hindia melalui jalur kemajuan.

Bila melihat pada sejarah perjalanan bangsa Indonesia, kiprah kaum muda selalu mengikuti setiap tapak-tapak penting sejarah. Pemuda selalu menjadi kekuatan utama dalam proses modernisasi dan perubahan. Dan biasanya pula pemuda jenis ini adalah para pemuda yang terdidik. Mereka mempunyai kelebihan dalam pemikiran ilmiah, selain semangat mudanya, sifat kritisnya, kematangan logikanya dan ‘kebersihan’-nya dari noda orde masanya.

Angkatan 08, Angkatan 28, Angkatan 45, Angkatan 66, Angkatan 98 adalah sebutan bagi para pemuda di jamannya yang melakukan pembaharuan. Angkatan 08 dan Angkatan 28 merupakan angkatan pemuda yang melakukan pencerahan kepada rakyat atas penindasan kolonialisme. Angkatan 45 menjadi angkatan yang mendorong lahirnya negara baru bernama Indonesia melalui proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Angkatan 66 melakukan koreksi terhadap kepemimpinan nasional yang dipicu oleh pemberontakan PKI. Angkatan 66 juga dianggap sebagai penyelamat atas keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Angkatan 98 menjadi angkatan pendobrak otokrasi yang dilakukan oleh presiden. Lewat gerakan reformasi inilah demokrasi tumbuh bersemi di bumi pertiwi.

Para pemuda yang tergabung dalam angkatan awal banyak yang masuk dan menjadi pemimpin nasional. Sukarno, Moh. Hatta, Sjahrir, dan lainnya adalah contoh tokoh-tokoh angkatan awal yang menjadi pemimpin nasional. Tokoh Angkatan 66 juga banyak yang masuk dalam pemerintahan. Walaupun pada akhirnya sirkulasi kepemimpinan paska tahun 1966 dikontrol secara sentalistik sehingga hanya saluran tertentu saja yang dapat mengakses kekuasaan. Istilah ABG (ABRI, Birokrat, dan Golkar) sangat populer di jaman Orde Baru, mereka inilah yang mengisi pos-pos kekuasaan (eksekutif, legislatif, yudikatif)

Berbeda dengan angkatan awal, para pemuda yang tergabung dalam gerakan reformasi banyak yang tidak masuk dalam gerbong kekuasaan (baca: kepemimpinan nasional). Sebagai ”pendorong mobil mogok” kaum muda reformis ditinggal ketika ”mobil” sudah berjalan dan hanya ditinggali asapnya saja. Bukan berarti mereka tidak memiliki potensi kepemimpinan tetapi lebih karena mereka ingin menjadi penjaga garis dengan peluit moralitas dan keadilan.

Para reformis 98 memiliki cita-cita menata kembali kehidupan bangsa Indonesia untuk meraih masa depan yang lebih cerah. Melalui pembentukan sebuah masyarakat sipil demokratis, ditegakkannya hukum, pemerintah yang bersih dari KKN, keteraturan sosial, rasa aman, menjamin kelancaran produktivitas warga masyarakat dan kehidupan ekonomi yang mensejahterakan rakyat Indonesia. Melalui pembentukan pemerintahan yang demokratis, bersih dan berwibawa, yaitu pemerintah yang mampu memberantas KKN dan segenap penyimpangan lainnya yang menghambat pembangunan maupun kepentingan nasional.

Cita-cita reformasi ditekadkan dalam empat tuntutan reformasi, yaitu: (1) Amandemen UUD 1945 yang dianggap memberikan powerful presidency, (2) penegakan hukum yang diwujudkan dalam membasmi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), (3) demokratisasi yang diejawantahkan dengan mencabut lima paket undang-undang politik; dan (4) penghapusan dwi fungsi ABRI.

Reformasi telah membuahkan keberhasilan walaupun ada agenda reformasi yang gagal/ belum tercapai. Beberapa agenda reformasi yang belum tercapai, adalah penegakan pemerintahan yang bersih dan penegakan supremasi hukum. Akibatnya banyak permasalahan sosial yang tidak tertangani dengan baik. Lapangan pekerjaan yang sempit, banyaknya pengangguran, semakin sulitnya kehidupan masyarakat kecil akibat mahalnya BBM dan beras, serta ancaman gizi buruk merupakan akibat dari tata kelola pemerintahan yang belum baik dan bersih.

Melihat perjalanan reformasi yang kurang menggembirakan dimana krisis belum juga menunjukkan tanda-tanda teratasi para kaum muda saat ini mulai terjun pada ranah kekuasaan. Kran demokrasi sangat memungkinkan untuk munculnya pemimpin-pemimpin muda dalam kekuasaan. Sumbatan mobilitas vertikal yang telah hilang meningkatkan gairah para pemuda untuk memasuki partai politik. Kesempatan yang sangat terbuka untuk menjadi anggota legislatif di segala tingkatan mulai banyak dimanfaatkan. Di jalur eksekutif juga semakin terbuka dimana UU Pemerintahan Daerah telah mengakomodasi pemilihan kepala daerah secara langsung. Sehingga anak-anak muda banyak yang menggunakannya sebagai jalan meraih kepemimpinan tingkat lokal.

Alam demokrasi mengembalikan kekuasaan kepada rakyat dimana rakyatlah yang berhak untuk menentukan siapa pemimpinnya. Mereka yang membela dan dekat dengan rakyat maka merekalah yang akan memperoleh kursi kepemimpinan. Mereka yang mampu membuktikan untuk menyejahterakan dan memakmurkan rakyat maka dia akan langgeng dalam kekuasaan.

Dalam kenyataannya, kaum muda masih terbatas masuk dalam kekuasaan. Coba kita lihat jumlah Anggota DPR-RI periode 2004-4009 yang berusia 18-35 tahun hanya mencapai 33 orang. Artinya hanya 6% dari keseluruhan jumlah anggota dewan. Bila melihat kesempatan bagi mereka yang masuk katagori pemuda duduk di kabinet pemerintahan mungkin akan semakin sulit, karenya kenyataannya memang tidak ada. Kalaupun dipaksakan mungkin hanya dua orang saja yang masih dianggap muda yaitu Menteri Negara Pemuda dan Olahraga dan Menteri Negara Percepatan Daerah Tertinggal. Mereka masih di bawah usia 45 tahun. Minimnya kaum muda dalam ranah kekuasaan nasional dikatakan oleh sebagain pengamat sebagai bentuk gerontokrasi, yaitu pemerintahan yang dihuni oleh para orang-orang tua. Para orang-orang tua yang telah lama berasyik masyuk dengan kolusi, korupsi, dan nepotisme melakukan penyimpangan kekuasaan.

Menurut Eep Saepulloh Fatah, gerontokrasi bukan persoalan umur tetapi persoalan mental. Karena anak muda yang mau atau berada pada kungkungan kuasa orang tua maka dia termasuk gerontokrat”. Ciri gerontokrasi setidaknya ada empat, yaitu (1) bisa siapa saja pelakunya, baik tua maupun muda; (2) condong kepada kemapanan dan menolak perubahan; (3) melihat dunia sebagai senja (menikmati hidup); dan (4) orang yang memeluk masa lalu dan mencampakkan masa depan. Bisa siapa saja karena anak-anak muda yang masih suka minta petunjuk ’restu’ pada para orang tua (patron) akan tetap setia menjadi client dan menjadi anjing pelindung kekuasaan.

Walaupun begitu, cukup banyak pemuda yang sudah berhasil menjadi pemimpin-pemimpin lokal. Salah satu contoh yang aktual adalah Wakil Gubernur Nangroe Aceh Darussalam terpilih yang berusia kurang dari 35 tahun lewat pilkada langsung. Belum lagi para bupati/ walikota, wakil bupati/wakil walikota, anggota DPRD berusia muda yang banyak menjabat paska reformasi paket undang-undang politik. Fakta ini dapat menjadi indikasi akan bermunculannya kaum muda menjadi pemimpin-pemimpin di masa datang.

KADERISASI KEPEMIMPINAN

Tetapi realita terkadang tidak seindah idealita. Kepemimpinan hasil demokrasi tidak selamanya menjamin kesejahteraan masyarakat. Profesor Harold Crouch, Indonesianis dari Australian National University (ANU) pernah menyatakan bahwa pemilihan yang bebas, kompetitif dan transparan bukanlah segala-galanya untuk menyelesikan problema politik bangsa. Pemilihan yang demokratis, idealnya bertujuan kepada dua hal yaitu memilih anggota legislatif yang peduli pada keinginan rakyat, dan juga memilih pemerintah yang dapat mengimplementasikan kebijakan yang efektif demi kepentingan rakyat. Masalahnya kemudian adalah bahwa dua tujuan utama ini tidaklah selalu dapat berjalan secara paralel. Komposisi legislatif yang sesuai dengan populasi rakyat tidaklah selalu mendukung pemerintahan yang efektif dan stabil. Pada konteks inilah pemilu dianggap telah gagal menghasilkan suatu keseimbangan antara legislatif yang representatif dan pemerintahan yang efektif.

Model pemilihan (anggota legislatif dan eksekutif) secara langsung tidak terhindarkan dari kekuatan uang. Biasanya orang dengan kecendekiawanan tinggi dan moralis bukan golongan kaya. Sehingga para kandidat yang memiliki banyak uanglah yang berkesempatan untuk mengikuti kompetisi. Sehingga lahirnya para medoikrat-mediokrat yang kurang peduli terhadap amanat penderitaan rakyat sulit dihindari. Kepemimpinan seperti ini tentunya mengkhawatirkan dan menjadi kampanye buruk demokrasi.

Karenanya tidak berlebihan Dr. Yudi Latif, meyakini bahwa masa depan Indonesia akan sangat tergantung kepada para pemimpin yang berani dan mampu menerjemahkan moral kapital ke dalam mesin politik dan birokrasi. Persoalannya bagaimana memproduksi calon-calon pemimpin yang moralis?

Pemimpin tidak hanya dilahirkan tetapi dapat dibentuk (lihat kepemimpinan menurut Max Weber). Kepemimpinan yang diperoleh lewat karismatis dan tradisional sudah bukan jamannya lagi. Pemimpin model legal-rasional (birokratis) yang lahir lewat merit system menjadi pilihan yang paling tepat untuk saat ini. Untuk melahirkan pemimpin perlu adanya sistem kaderisasi serta membentuk pemerintahan meritokrasi.

Menurut AS Hornby (dalam kamusnya Oxford Advanced Learner's Dictionary) dikatakan bahwa "Cadre is a small group of People who are specially chosen and trained for a particular purpose, atau cadre is a member of this kind of group; they were to become the cadres of the new community party". Jadi pengertian kader adalah "sekelompok orang yang terorganisasir secara terus menerus dan akan menjadi tulang punggung bagi kelompok yang lebih besar". Hal ini dapat dijelaskan, pertama, seorang kader bergerak dan terbentuk dalam organisasi, mengenal aturan-aturan organisasi. Kedua, seorang kader mempunyai komitmen yang permanen, utuh, dan konsisten dalam memperjuangkan dan melaksanakan kebenaran. Ketiga, seorang kader memiliki bobot dan kualitas sebagai tulang punggung yang mampu menyangga kesatuan komunitas manusia yang lebih besar. Jadi fokus penekanan kaderisasi adalah pada aspek kualitas. Keempat, seorang kader nemiliki visi dan perhatian yang serius dalam merespon dinamika sosial lingkungannya dan mampu melakukan rekayasa sosial.

Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga melihat potensi pemuda sebagai kader bangsa. Sehingga dalam draft RUU Kepemudaan, pemuda dianggap sebagai kader bangsa yang harus mempeoleh perlindungan, pengembangan, dan pemberdayaan. Sehingga para pemuda dapat tumbuh menjadi calon-calon pemimpin bangsa yang cerdas, kuat, bermoral, berani, dan cinta tanah air. Tugas kaderisasi kepemimpinan ini tidak semata-mata menjadi tugas Kemenegpora, tetapi juga menjadi tugas masyarakat, salah satunya adalah HMI dan para alumninya (KAHMI) untuk sama-sama mendorong proses kaderisasi kepemimpinan.

Beberapa program yang dilakukan oleh Kemenegpora terkait dengan kaderisasi kepemimpinan pemuda antara lain adalah Lemhanas Pemuda (Tanasda), Bela Negara, Latihan Kepemimpinan Pemuda, Dialog Pemuda Nasional/ Daerah, Pertemuan Pemuda Internasional, dan penyusunan buku panduan pelatihan kepemimpinan pemuda. Program-program tersebut dibuat dalam rangka membentuk kaum muda yang memiliki keberanian memperjuangkan visi perubahan yang menjanjikan pencerahan masa depan.

PENUTUP

Demokrasi memberi jaminan masa depan kepemimpinan Indonesia tidak akan kelabu. Kaum muda memiliki hak yang sama untuk menjadi pemimpin. Tetapi demokrasi tidak menjamin pemimpin yang dihasilkan adalah orang terbaik. Untuk itu perlu penyiapan kader-kader calon pemimpin bangsa yang memiliki komitmen dan visi kerakyatan.

Kaum muda harus memiliki kesadaran bahwa bangsa ini tidak dapat diserahkan kepada para pemimpin yang tidak cakap dan tidak bermoral. Di tangan para pemudalah nasib bangsa ditentukan. Maka persiapkan diri kalian untuk mengisi kepemimpinan (lokal/ nasional) dan jadilah pemimpin yang amanah.

Ingatlah Soekarno, Hatta, Sjahrir, Mohammad Roem. Yang mampu menjadi pemimpin saat usia muda. Sebagai proyek historis kaum muda, Indonesia, membutuhkan kaum muda yang cerdas, kuat, visioner, bermoral, berani, dan cinta tanah air untuk memimpin Indonesia mada depan. Bukan orang yang kaya, korup, dan tidak memiliki komitmen kerakyatan dan kebangsaan.

Tidak ada komentar: